Posts

Showing posts from May, 2020

The Habits of the People: The Origin of John Austin’s Law Properly So Called

Tulisan “The Habits of the People: The Origin of John Austin’s Law Properly So Called” membahas pemikiran John Austin mengenai sumber-sumber kedaulatan hukum. Beberapa ahli hukum mencoba menguraikan sumber-sumber kedaulatan hukum dalam pemikiran Austin, antara lain: pertama, kebiasaan patuh masyarakat terhadap pembuat hukum yang berdaulat. Kedua, paksaan, yang dibingkai hukum yang di dalamnya terdapat tiga elemen penting, yaitu: perintah, kewajiban, dan sanksi. Ketiga, hukum Tuhan (divine law). Keempat, kehendak rakyat, yang terdefinisikan dalam kemanfaatan dan kebahagiaan terbesar dari jumlah terbesar rakyat (greatest happiness of the greatest number) . Sumber-sumber kedaulatah hukum tersebut, untuk dapat ditegakkan harus ditetapkan sebagai hukum oleh pembuat hukum yang berdaulat. Hukum yang dibuat oleh pemuka agama tidak akan bisa ditegakkan sebagaimana hukum yang dibuat oleh pembuat hukum yang berdaulat. Pembuat hukum yang berdaulat memiliki otoritas hukum yang berbeda

An Invisible Nature: The Origin of Thomas Hobbes’s Civil Law

Tulisan “An Invisible Nature: The Origin of Thomas Hobbes’s Civil Law” membahas mengenai pemikiran Hobbes terkait dengan hukum perdata (cilil law) yang bergantung pada otoritas yang tidak terlihat. Pemikiran ini tentu saja bertentangan dengan pemikiran umum yang berkembang, bahwa hukum, termasuk hukum perdata diciptakan oleh para legislator yang berdaulat, yang sebelumnya sudah dibentuk atau dipilih oleh masyarakatnya. Tidak ada institusi mandiri manapun di masyarakat, negara lain, penulis atau pekerja moral, termasuk hakim yang tidak tunduk kepada hukum yang diciptakan oleh para legislator berdaulat. Pemikiran Hobbes terhadap hukum perdata berbeda dengan pemikiran umum tersebut, dan pada akhirnya menjadi paradoks terhadap pemikiran umum tersebut. Dalam pemikiran Hobbes, hukum perdata sebenarnya merupakan manifestasi penghormatan terhadap kehidupan dan kebebasan masyarakat. Jika ditelusuri lebih jauh, hukum perdata yang merupakan manifestasi penghormatan terhadap kehidupa

Naming the Unnamable: Jean-Jacques Rousseau’s General Will

Tulisan “Naming the Unnamable: Jean-Jacques Rousseau’s General Will” membahas pemikiran Rousseau mengenai kehendak rakyat dalam kontrak sosial. Rousseau memandang bahwa hukum positif memiliki dua karakteristik, yaitu: pertama, pembuatnya. Dalam pandangan Rousseau, untuk dapat meraih lebih banyak hal dan kemudian beranjak meninggalkan keadaan alam, manusia harus masuk dalam kontrak sosial, sehingga akan tercipta hukum baru diantara orang-orang yang berkontrak tersebut. Yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa kehendak umum atau kehendak rakyat harus menjadi semangat dalam hukum perdata. Hakim atau pengacara harus dapat melihat kehendak umum tersebut di dalam hukum perdata. Pemikiran Rousseau tidak dapat dilepaskan dari teori hukum kodrat, sekaligus juga pemikiran Thomas Hobbes, terutama terkait dengan wewenang pembuatan hukum. Dalam konteks demikian, maka apabila pembuat hukum membuat dan menerapkan hukum perdata secara tidak adil dan bertentangan dengan kehendak umum, ma

Positive Law in the Analytical Positivism of John Austin

Tulisan “Positive Law in the Analytical Positivism of John Austin” membahas pemikiran John Austin mengenai hukum positif. Austin menempati posisi yang unik dalam sejarah perdebatan hukum positif, yaitu sebagai satu-satunya ahli hukum yang paling sering menggunakan istilah hukum positif. Austin merupakan murid dari Jeremy Bentham, tetapi ketika berbicara mengenai hukum positif, pemikiran Austin cenderung mendekati pemikiran Thomas Hobbes, bahwa hukum positif yang sebenarnya adalah terwujud dalam dinamika praktik di masyarakat. Hukum harus bersumber dan ditetapkan oleh yang berdaulat atau yang berkuasa (sovereign), baik dalam wujud raja atau parlemen. Dengan kata lain, hukum merupakan produk dari kekuasaan (sovereign). Oleh karenanya, Austin juga dikenal sebagai pencetus command theory. Austin sebenarnya mengakui adanya tiga hukum, yaitu hukum illahi yang berasal dari Tuhan, hukum manusia yang berasal dari atasan yang tidak berdaulat, dan ketiga adalah hukum yang berasal da

Tinjauan Hukum Permohonan Informasi yang Tidak Sungguh-Sungguh dan Beritikad Baik (Vexatious Request)

Data sengketa informasi Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) menunjukkan bahwa dari tahun 2010 hingga 2017, KI Pusat telah menerima 2724 permohonan penyelesaian sengketa informasi. Kemudian dari 2724 tersebut, baru 901 sengketa informasi yang sudah diputus. Dengan demikian, KI Pusat masih memiliki tunggakan sengketa sebanyak 1823. Ada hal menarik terkait dengan tunggakan sengketa informasi KI Pusat: Pertama, bahwa dari 1823 sengketa, 1209 diantaranya merupakan permohonan yang diajukan oleh Muhammad Hidayat atau lebih dikenal sebagai MHS. 1209 sengketa informasi diajukan MHS dengan menggunakan beberapa identitas, antara lain: Mata Ummat, Perkumpulan Mata Umat, Pergerakan Mata Umat, Sahabat Muslim, Sahabat Muslim Indonesia, dan Perkumpulan Sahabat Muslim. Kedua, 1209 permohonan sengketa dilakukan MHS pada tahun 2014 dan keseluruhannya dianggap tidak memiliki kepentingan langsung dengan informasi yang diminta. Di luar data sengketa yang terekam oleh KI Pusat, pada awal berlaku

Pokok-Pokok Pikiran Usulan Koalisi PWYP Indonesia Dalam Revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) telah lima kali dimintakan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Saat ini, UU Migas dalam proses revisi dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak tahun 2010. Namun demikian, hingga tahun 2018 atau hampir sembilan tahun, revisi UU Migas tidak kunjung selesai, bahkan belum pernah sekalipun dibahas dalam rapat pembahasan antara DPR dengan Pemerintah. Hingga Kertas Posisi ini disusun, rancangan revisi UU Migas masih dibahas di Badan Legislasi untuk kemudian diusulkan menjadi rancangan usulan Komisi VII DPR. Masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Publish What You Pay Indonesia (PWYP Indonesia) membuat usulan rancangan revisi UU Migas dengan pokok-pokok pikiran yang mencakup aspek perencanaan dan pencadangan migas untuk ketahanan energi, model kelembagaan pengelolaan migas, dana abadi migas, pengelolaan dampak lingkungan dan keselamatan kerja sektor migas, serta aspek transparansi

Positivism of Auguste Comte

Tulisan “Positivism of Auguste Comte” membahas pemikiran Auguste Comte mengenai positivisme (hukum) ala Comte hingga evolusinya menjadi ilmu pengetahuan. Menurut Comte, positivisme (hukum) merupakan perpaduan antara filosofi, sosial dan politik, dan pada akhirnya bermuara pada keagamaan. Aspek filosofi merupakan deskripsi pengetahuan manusia dan masyarakat. Kemudian, sosial dan politik merupakan cara-cara menerapkan teori-teori filosofi yang sudah dikembangkan sebelumnya. Sedangkan, keagamaan, menunjukkan bahwa situasi filosofis, sosial dan politik merupakan manifestasi dari nilai-nilai ketuhanan. Pemikiran awal Comte terhadap positivisme (hukum) yang merupakan perpaduan antara filosofi, sosial dan ekonomi, serta keagamaan, tidak lepas dari pemikiran Henri de Saint-Simon yang kuat dengan teori sosialnya. Namun demikian, latar belakang pendidikan sainsnya (matematika dan ilmu pasti), serta filsafat politik, pada akhirnya membawa Comte ke arah yang berbeda dengan Saint-Simo

Forgetting the Act of Forgetting: Raz’s Inaccessible Origin of Legal Reasoning

Tulisan “Forgetting the Act of Forgetting: Raz’s Inaccessible Origin of Legal Reasoning” membahas pemikiran Joseph Raz mengenai asal-usul hukum. Berbeda dengan pemikiran Hobbes, Rousseau, Austin, dan Kelsen yang sepertinya belum melihat situasi pra-hukum sebagai sesuatu hal yang penting untuk dikaji, Raz justru mengakui bahwa kondisi pra-hukum memiliki peranan yang penting dalam mengkonstruksi kewajiban hukum. Lebih lanjut, Raz menegaskan bahwa keberadaan hukum, erat kaitannya dengan berbagai kedekatan dan pengalaman para pejabat hukum yang dibagikan kepada lembaga hukum yang menaunginya. Namun demikian, sayangnya, pejabat hukum ini melupakan kondisi pra-hukum dalam melakukan kajian mengenai hukum. Padahal menurut Raz, kondisi pra-hukum merupakan suatu pengalaman yang harus diperhatikan dalam menelusuri asal-usul hukum, sehingga kemudian akan menjadi dasar pemikiran dalam pembuatan hukum berikutnya. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa Raz mengakui kondisi pra-

The Forgotten Origin: H.L.A. Hart’s Sense of the Pre-Legal

Tulisan “The Forgotten Origin: H.L.A. Hart’s Sense of the Pre-Legal” membahas pemikiran Herbert Lionel Adolphus Hart mengenai asal-usul hukum positif. Berbeda dengan tradisi pemikiran hukum positif, yang lebih menyandarkan hukum dari sisi intitusi hukum yang berdaulat yang membuatnya, Hart memandang bahwa hukum positif berasal dari faktor eksternal yang lebih tinggi yang terus menerus dapat diidentifikasi hingga pada tingkat absolutnya (aturan pengakuan), yang pada akhirnya aturan pengakuan ini dapat digunakan untuk menguji urgensi adanya suatu aturan dan kelayakan keberlakukannya sebagai sebuah hukum positif. Hart menguraikan dua jenis aturan, yaitu aturan primer dan aturan sekunder. Aturan utama mengharuskan setiap orang untuk bertindak atau tidak bertindak dengan cara tertentu, dan tentunya, aturan utama ini membebankan tugas/perintah. Aturan sekunder kemudian memberikan kondisi di mana, lembaga atau pejabat tertentu, berwenang untuk memberlakukan, mengadili, mengelola

The Invisible Origin of Legal Language: The Grundnorm

Tulisan “The Invisible Origin of Legal Language: The Grundnorm” membahas pemikiran Hans Kelsen mengenai norma dasar atau grundnorm. Kelsen merupakan ahli teori hukum Eropa yang paling berwawasan dan produktif. Kelsen berpendapat bahwa yang paling penting dalam hukum di masyarakat adalah apa yang dinyatakan dikemudian hari oleh seorang pejabat atau penegak hukum. Dalam konteks ini, Kelsen lebih melihat pada aspek substansi hukumnya (norma) dibanding pada aspek pembuat hukumnya. Pemikiran ini tentunya berbeda dengan Hobbes, Rousseau, Bentham, dan Austin yang lebih condong kepada pembuat hukumnya, dibanding substansi hukumnya. Menurut Kelsen, penegak hukum (hakim, polisi, jaksa) merupakan wakil atau penerjemah dari pembuat hukum tentang bagaimana seseorang seharusnya bersikap atau bertindak. Apa yang dinyatakan oleh hakim tentang bagaimana seseorang seharusnya bersikap atau bertindak ini harus dapat ditelusuri secara rasional dan menyeluruh hingga ke titik tertentu, yang bah

Positive Language and Positive Law in Plato’s Cratylus

Tulisan “Positive Language and Positive Law in Plato’s Cratylus” membahas mengenai asal-usul, perdebatan, dan dinamika bahasa positif dan hukum positif. Hukum positif (positive law), merupakan terjemahan langsung dari bahasa LATIN, ius positivum dan lex positiva, yang mana ini tidak merujuk dari bahasa Yunani, meskipun ius positivum dan lex positiva ini sebenarnya berasal dari perdebatan Yunani mengenai apakah kata yang tepat adalah natural (phusei) atau positive (thesei). Jika kembali ke sejarah penemuan hukum positif, maka kita akan kembali pada komentar Chalcidius mengenai Timaeus Plato yang berbicara mengenai keadilan positif. Keadilan positif ini sendiri diambil Chalcidius dari bahasa yang digunakan oleh Aulus Gellius. (Hukum) Positif memiliki dua makna, yaitu: (1) Deskripsi tentang asal-usul, sumber kata, atau hukum; konten hukum yang sengaja dipaksakan; biasanya berlawanan dengan kebiasaan; dan (2) Tesis normatif tentang arti kata/isi hukum: biasanya terkait dengan

Sugeng Wangsul Pakde Didi

5 April 2020, sehabis sahur, karena masih merasa ngantuk, saya beranjak ke tempat tidur, tetapi tidak tidur. Entah apa yang terjadi, tetiba teringat akan kematian, yang juga pernah saya impikan beberapa waktu lalu. Dalam mimpi saya, jelas tergambarkan ketika seseorang mati, dia hanya akan punya teman sampai dia masuk ke liang lahat. Setelahnya, dia akan sendirian. Sendirian menghadapi dan menjawab pertanyaan Munkar dan Nakir. Apakah saya takut dengan mimpi dan ingatan akan hal kematian tersebut? Jelas! Sejujurnya, saya belum siap, dan mungkin banyak dari kita yang belum siap dengan kematian, yang datangnya nyaris tidak bisa kita ketahui. Sekitar pukul 08.46, saya membuka HP, mendapati salah satu teman membagikan tautan berita mengenai meninggalnya Didi Kempot. Kaget? Pasti! Ga nyangka secepat itu. Tapi sejujurnya, pasca Ngobam Gofar Hilman bareng Didi Kempot pada pertengahan Juli 2019, yang memperlihatkan antusiasnya para milenial, yang diikuti dengan kembalinya Didi Ke

Kebijakan Pembebasan Narapidana Akibat Pandemi Covid-19, Sudahkah Mempertimbangkan Aspek Yuridis, Sosial dan Ekonomi Narapidana dan Masyarakat?

Image
Akhir-akhir ini, pemberitaan Covid-19 juga diisi dengan berita mengenai narapidana yang kembali melakukan tindak kejahatan usai mendapatkan asimilasi dan pembebasan bersyarat akibat Covid-19. Hingga 20 April 2020, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sudah membebaskan sebanyak 38.822 narapidana, dengan rincian 37.883 narapidana umum dan 939 narapidana anak. Pembebasan ini dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Beberapa narapidana yang dibebaskan justru kembali melakukan tindak pidana, pencurian, penjambretan, mabuk dan kekerasan, dan narkotika. Kebijakan Pembebasan Narapidana Didasarkan Alasan Kemanusiaan Menengok ke belakang, pembebasan narapidana ini memang sudah menjadi perdebatan ketika kali pertama diwacanakan. Meskipun kala itu, perdebatan lebih kepada narapidana