Hingga saat ini, tuntutan publik untuk dibukanya data mengenai identitas pasien positif Covid-19 masih begitu masif. Jika merujuk pada Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, identitas pasien, termasuk rekam medis harus dijaga kerahasiaannya oleh tenaga kesehatan maupun sarana pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, puskesmas, maupun klinik. Kemudian, kerahasiaan data pribadi, termasuk identitas pasien, juga diatur dalam Pasal 17 huruf h Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Dalam konteks UU KIP, untuk dapat membuka informasi yang dikecualikan, harus dilakukan secara ketat dan terbatas dengan melakukan serangkaian uji, yaitu: uji konsekuensi dan uji kepentingan publik sebagaimana dimaksud Pasal 2 jo. Pasal 19 UU KIP. Dalam konteks tuntutan publik untuk dibukanya data identitas pasien positif Covid-19, perlu dilakukan dengan terlebih dahulu melalui serangkaian dua uji tersebut.
Dalam hemat saya, uji dilakukan dengan pertanyaan awal: “Untuk apa orang-orang ingin mengetahui identitas pasien?” Jawaban dari pertanyaan ini akan sangat beragam, dan yang paling banyak adalah untuk memitigasi resiko penularan Covid-19, karena dengan data tersebut, dapat diketahui mengenai riwayat perjalanan pasien, sehingga orang lain bisa mengambil langkah-langkah pencegahan yang diperlukan. Namun demikian, yang terjadi justru di luar dugaan, langkah mitigasi maupun preventif orang-orang tersebut adalah dengan mendiskriminasi pasien positif Covid-19 dan keluarganya, termasuk dengan penolakan pemakaman. Dan tentunya diskriminasi ini akan terus berlanjut.
Untuk itu, dalam konteks saat ini, dimana pemerintah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan mengenai social distancing, kemudian Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), yang mana kebijakan ini juga sudah diikuti oleh beberapa daerah untuk menerapkan karantina wilayah, termasuk yang terakhir adalah Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/Menkes/239/2020 terkait status PSBB DKI Jakarta. Selain itu, di banyak daerah, masyarakat juga sudah menerapkan karantina hingga di level desa. Terlebih lagi, jika kita melihat situs pusat informasi Covid-19 yang dimiliki oleh pemerintah daerah, yang sudah menginformasikan penyebaran Covid-19 hingga level kelurahan, seperti DKI Jakarta dan Jawa Tengah. Bahkan situs pusat informasi Covid-19 Jawa Tengah sudah dilengkapi geo tagging penyabaran Covid-19 hingga level kelurahan yang di-update secara berkala.
Dengan
adanya kebijakan pemerintah dan dinamika masyarakat mengenai
karantina hingga level desa tersebut, kebutuhan untuk dibukanya data
pribadi pasien Covid-19 menjadi tidak penting. Untuk mengujinya, bisa
dilakukan dengan menjawab pertanyaan yang saya sebutkan di awal tadi:
“Untuk apa orang-orang ingin mengetahui identitas pasien?”
Terhadap pertanyaan ini, saya memiliki beberapa jawaban sederhana:
Jika orang tersebut dan keluarganya dalam kondisi sehat. Maka tidak begitu penting untuk mengetahui data identitas pasien pasitif Covid-19.
Jika orang tersebut, keluarganya, dan tetangganya dalam kondisi sehat. Maka, juga tidak begitu penting untuk mengetahui data identitas pasien positif Covid-19.
Jika orang tersebut, keluarganya, atau tetangganya ada yang merasakan gejala infeksi Covid-19, yang perlu lakukan adalah segera mendatangi fasilitas kesehatan untuk mendapatkan pemeriksaan, setelah itu, karantina mandiri. Dari sini pun, tidak begitu penting dia mengetahui data identitas pasien positif Covid-19.
Untuk itu, yang diperlukan masyarakat bukanlah data mengenai data identitas pasien positif Covid-19, tapi kedisiplinan untuk mengikuti himbauan pemerintah untuk melakukan social distancing, physical distancing, karantina mandiri kalo merasakan gejala infeksi, PSBB, dll. Kemudian dari sisi pemerintah, bisa dilakukan dengan semakin gencarnya melakukan himbauan dan peringatan mengenai penyebaran Covid-19 hingga level komunitas terkecil (desa, kelurahan, RT/RW) dengan berbasis data penyebaran Covid-19 yang sudah diinformasikan hingga level kelurahan tadi. Selain itu, yang tidak kalah penting, adalah informasi mengenai ketersediaan stok bahan makanan, dimana dan bagaimana mengaksesnya, dsb. Jadi, sekali lagi, bukan data pasien positif Covid-19 yang diperlukan.
Tulisan ini juga dimuat dalam berita daring cakaplah.com
Jakarta, 8 April 2020.
Comments
Post a Comment