[Resume] Area and Power: A Theory of Local Government by Arthur Maass

Pendahuluan 

Pembagian kekuasaan merupakan dasar bagi pemerintahan yang beradab. Pembagian kekuasaan akan menciptakan keseimbangan kekuasaan antar lembaga, sehingga menghindarkan pemusatan kekuasaan secara mutlak pada satu pihak. Hal ini karena pembagian kekuasaan menempatkan adanya mekanisme saling kontrol kekuasaan (checks and balances) antar lembaga, sekaligus juga pembagian beban kerja dan tanggung jawab.

Urgensi Pembagian Kekuasaan

Pembagian kekuasaan merupakan instrumen untuk mencapai nilai-nilai atau tujuan masyarakat. Dalam konteks demikian, bentuk pembagian kekuasaan merupakan cerminan dari nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat pada kurun waktu tertentu. Sebagai contoh, negara demokrasi modern yang secara umum menganut nilai-nilai kebebasan, persamaan, dan kesejahteraan, maka pembagian kekuasaan juga didasarkan pada nilai-nilai tersebut. Pertama, untuk meningkatkan nilai kebebasan, maka kekuasaan dibagi sedemikian rupa untuk melindungi warga negara dari tindakan pemerintah yang sewenang-wenang. Kedua, untuk meningkatkan persamaan, maka kekuasaan dibagi sedemikian rupa yang memberikan ruang atau peluang sebesar-besarnya partisipasi warganegara dalam kebijakan publik. Ketiga, untuk meningkatkan kesejahteraan, maka kekuasaan dibagi sedemikian rupa untuk menjamin tindakan pemerintah akan efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan warganegara.

Namun demikian, perlu diingat bahwa pembagian kekuasaan dalam rangka mencapai keseimbangan pencapaian nilai-nilai yang berlaku di masyarakat bukanlah sesuatu hal yang mudah. Diperlukan cara-cara pembagian kekuasaan yang mencerminkan kekuasaan pemerintahan dan masyarakat politik (keseimbangan kekuasaan di dalam masyarakat).

Cara Pembagian Kekuasaan

Secara umum, pembagian kekuasaan pemerintahan dapat dilakukan dalam beberapa cara, yaitu: (1) Capital division of power (CDP) atau horizontal division of power, yaitu pembagian kekuasaan pemerintahan pada jenjang yang sama ditingkat pusat. Misalnya, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Selain itu, ada juga kekuasaan eksaminatif (state auditor) dan moneter (central bank); (2) Areal division of power (ADP) atau vertical division of power, yaitu pembagian kekuasaan pemerintahan berdasarkan tingkatan wilayah/jenjang pemerintahan yang berbeda dalam satu negara. Misalnya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah; (3) Non-governmental division of power (NDP). NDP pada dasarnya adalah pemberian ruang partisipasi “kekuasaan” non-pemerintah (institusi swasta dan masyarakat sipil) untuk turut berkontribusi dalam pemerintahan untuk mencapai nilai-nilai atau tujuan yang hendak dicapai oleh negara. Dalam konteks ini, NDP memiliki kemampuan untuk ikut serta mencapai tujuan pemerintahan secara optimal, sekaligus memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pilihan-pilihan masyarakat, hubungan kekuasaan, dan mempengaruhi implementasi dari CDP dan ADP itu sendiri.

Lebih lanjut, Arthur Maass mengelaborasi pembagian kekuasaan – baik untuk CDP dan ADP, dengan beberapa cara yang didasarkan pada proses, fungsi, dan konstituensi. Selain itu, pembagian kekuasaan dilakukan secara eksklusif dan berbagi.

Proses. Pembagian kekuasaan dilakukan berdasarkan proses penyelenggaraan pemerintahan. Misalnya: (1) dalam CDP, proses legislasi undang-undang dilaksanakan oleh legislatif (DPR), proses pelaksanaan dan administrasi undang-undang dilaksanakan oleh eksekutif (presiden), sedangkan proses yudisial dilaksanakan oleh yudikatif (badan peradilan); dan (2) dalam ADP, proses legislasi UU dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sedangkan administrasi UU dilaksanakan oleh pemerintah provinsi.

Fungsi. Pembagian kekuasaan dilakukan berdasarkan fungsi atau aktivitas pemerintahan. Misalnya: (1) dalam CDP, pembagian kekuasaan dibagi dalam bidang-bidang spesialisasi tertentu dalam departemen/kementerian tertentu (lingkungan hidup, tenaga kerja, perkebunan, keuangan, dll); (2) dalam ADP, fungsi/urusan politik luar negeri dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sedangkan pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, dll) dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

Konstituensi. Pembagian kekuasaan dilakukan berdasarkan penugasan kepada unit pemerintahan yang berbeda yang bertanggungjawab mewakili konstituen yang berbeda-beda pula.

Eksklusif. Pembagian kekuasaan atas proses, fungsi, atau konstituensi tertentu menjadi kekuasaan mutlak dari suatu lembaga atau jenjang pemerintahan tertentu yang tidak dimiliki oleh lembaga atau jenjang pemerintahan lainnya.

Berbagi. Kekuasaan atas proses, fungsi, atau konstituensi kepada lembaga atau jenjang pemerintahan tertentu dibagi bersama atau dijalankan bersama lembaga atau jenjang pemerintahan lainnya.

CDP dan Pemisahan Proses. Berdasarkan cara-cara pembagian kekuasaan di atas (proses, fungsi, konstituensi, eksklusif, dan berbagi), pembagian kekuasaan di Eropa pada abad VIII didominasi pembagian kekuasaan dalam bentuk CDP yang didasarkan pada proses. Pembagian kekuasaan CDP berdasarkan proses lazim disebut sebagai pemisahan kekuasaan (separation of power). Dan ketika pemisahan kekuasaan dipadukan dengan checks and balances, maka perpaduannya akan memunculkan pembagian kekuasaan (division of power).

ADP dan Pembagian Fungsi. Pembagian kekuasaan secara ADP yang paling populer adalah berdasarkan fungsi, dan lazim dikenal sebagai federalisme. Di Amerika, sebelum terjadinya Civil War, federalisme dilaksanakan secara eksklusif (beberapa fungsi pemerintahan dilaksanakan oleh pemerintah federal secara mutlak. Misalnya, pecetakan mata uang). Namun setelah Civil War, federalisme di Amerika berubah dari eksklusif ke berbagi (ada fungsi-fungsi pemerintahan yang dapat dijalankan secara berbagi antara pemerintah federal dan negara bagian).

Hubungan CDP dan ADP. CDP berorientasi pada sentralisasi, sedangkan ADP berorientasi pada desentralisasi. Dengan demikian, CDP berkaitan erat dengan ADP. CDP/sentralisasi dan ADP/desentralisasi saling melengkapi satu sama lain dalam pencapaian nilai-nilai atau tujuan pemerintahan, jika penerapan keduanya dilakukan secara tepat. Hal ini karena untuk melaksanakan fungsi pemerintahan, pembagian kekuasaan tidak hanya dilakukan secara horisontal (CDP), tetapi juga vertikal (ADP), sehingga apa yang menjadi kebutuhan masing-masing jenjang pemerintahan –yang seringkali juga berbeda-beda kebutuhannya, akan terpenuhi secara optimal melalui kerjasama antar jenjang atau fungsi masing-masing pemerintahan.

Hubungan Pembagian Kekuasaan Pemerintah dengan Non-Pemerintah. Dalam konsep tata pemerintahan yang baik yang berkembang saat ini, unsur “kekuasaan” non-pemerintah (institusi swasta dan masyarakat sipil) atau non-governmental division of power (NDP) diberikan ruang partisipasi untuk turut berkontribusi dalam pemerintahan untuk mencapai nilai-nilai atau tujuan yang hendak dicapai oleh negara. Dalam konteks ini, NDP memiliki kemampuan untuk ikut serta mencapai tujuan pemerintahan secara optimal, sekaligus memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pilihan-pilihan masyarakat, hubungan kekuasaan, dan mempengaruhi implementasi dari CDP dan ADP itu sendiri.

Arti Penting ADP. ADP merupakan instrumen untuk mempelajari pemerintahan daerah dan relasinya dengan pemerintahan pusat. Karakteristik ADP: (1) ADP selalu diasosiasikan dengan nilai dasar masyarakat, sehingga ADP dapat digunakan untuk mengenali nilai dasar masyarakat ini; (2) ADP memahami secara sistematis banyak metode pembagian kekuasaan pemerintahan secara per daerah dan mendorong studi perbandingannya; (3) ADP diterapkan secara sama terhadap negara federal dan negara bagian, yang mana tidak dimiliki oleh sistem analis lain; dan (4) ADP memberikan dasar bagi pengembangan hubungan timbal balik antara pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah dan pembagian kekuasaan non-pemerintah.

Mengapa ADP Kurang Dipelajari? Ada beberapa alasan kenapa ADP kurang dipelajari: (1) ilmu pemerintahan seringkali memfokuskan diri pada pembagian kekuasaan secara horisontal (CDP); (2) adanya faktor yang mengaitkan munculnya negara bangsa yang lebih memusatkan pada kekuasaan di tingkat nasional dan menghindari pembagian kekuasaan secara vertikal (khawatir kekuasaan nasional akan tergerus akibat disintegrasi negara bangsa); (3) kaum pluralis abat ke-19 dan ke-20 di luar Amerika menentang doktrin tentang kedaulatan dan menghambat pembagian kekuasaan secara vertikal; (4) para ilmuwan politik terpesona dengan trias politika atau pola pembagian kekuasaan atas tiga bagian (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).

Comments