Pendahuluan
Pembagian kekuasaan
merupakan dasar bagi pemerintahan yang beradab. Pembagian kekuasaan akan
menciptakan keseimbangan kekuasaan antar lembaga, sehingga menghindarkan
pemusatan kekuasaan secara mutlak pada satu pihak. Hal ini karena pembagian
kekuasaan menempatkan adanya mekanisme saling kontrol kekuasaan (checks and balances) antar lembaga,
sekaligus juga pembagian beban kerja dan tanggung jawab.
Urgensi
Pembagian Kekuasaan
Pembagian kekuasaan
merupakan instrumen untuk mencapai nilai-nilai atau tujuan masyarakat. Dalam
konteks demikian, bentuk pembagian kekuasaan merupakan cerminan dari
nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat pada kurun waktu tertentu. Sebagai
contoh, negara demokrasi modern yang secara umum menganut nilai-nilai
kebebasan, persamaan, dan kesejahteraan, maka pembagian kekuasaan juga
didasarkan pada nilai-nilai tersebut. Pertama, untuk
meningkatkan nilai kebebasan, maka kekuasaan dibagi sedemikian rupa untuk melindungi
warga negara dari tindakan pemerintah yang sewenang-wenang. Kedua, untuk meningkatkan persamaan,
maka kekuasaan dibagi sedemikian rupa yang memberikan ruang atau peluang
sebesar-besarnya partisipasi warganegara dalam kebijakan publik. Ketiga, untuk meningkatkan kesejahteraan,
maka kekuasaan dibagi sedemikian rupa untuk menjamin tindakan pemerintah akan
efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan warganegara.
Namun demikian, perlu
diingat bahwa pembagian kekuasaan dalam rangka mencapai keseimbangan pencapaian
nilai-nilai yang berlaku di masyarakat bukanlah sesuatu hal yang mudah.
Diperlukan cara-cara pembagian kekuasaan yang mencerminkan kekuasaan
pemerintahan dan masyarakat politik (keseimbangan kekuasaan di dalam
masyarakat).
Cara
Pembagian Kekuasaan
Secara umum, pembagian
kekuasaan pemerintahan dapat dilakukan dalam beberapa cara, yaitu: (1) Capital division of power (CDP) atau horizontal
division of power, yaitu pembagian kekuasaan pemerintahan pada jenjang yang
sama ditingkat pusat. Misalnya, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Selain
itu, ada juga kekuasaan eksaminatif (state
auditor) dan moneter (central bank); (2) Areal division of power (ADP) atau vertical
division of power, yaitu pembagian kekuasaan pemerintahan berdasarkan
tingkatan wilayah/jenjang pemerintahan yang berbeda dalam satu negara.
Misalnya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah; (3) Non-governmental
division of power (NDP).
NDP pada dasarnya adalah pemberian ruang partisipasi “kekuasaan” non-pemerintah
(institusi swasta dan masyarakat sipil) untuk turut berkontribusi dalam
pemerintahan untuk mencapai nilai-nilai atau tujuan yang hendak dicapai oleh negara. Dalam konteks ini, NDP
memiliki kemampuan untuk ikut serta mencapai tujuan pemerintahan secara
optimal, sekaligus memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pilihan-pilihan
masyarakat, hubungan kekuasaan, dan mempengaruhi implementasi dari CDP dan ADP
itu sendiri.
Lebih lanjut, Arthur Maass
mengelaborasi pembagian kekuasaan – baik untuk CDP dan ADP, dengan beberapa
cara yang didasarkan pada proses, fungsi, dan konstituensi. Selain itu,
pembagian kekuasaan dilakukan secara eksklusif dan berbagi.
Proses. Pembagian kekuasaan dilakukan
berdasarkan proses penyelenggaraan pemerintahan. Misalnya: (1) dalam CDP,
proses legislasi undang-undang dilaksanakan oleh legislatif (DPR), proses
pelaksanaan dan administrasi undang-undang dilaksanakan oleh eksekutif
(presiden), sedangkan proses yudisial dilaksanakan oleh yudikatif (badan
peradilan); dan (2) dalam ADP, proses legislasi UU dilaksanakan oleh pemerintah
pusat, sedangkan administrasi UU dilaksanakan oleh pemerintah provinsi.
Fungsi. Pembagian kekuasaan dilakukan
berdasarkan fungsi atau aktivitas pemerintahan. Misalnya: (1) dalam CDP,
pembagian kekuasaan dibagi dalam bidang-bidang spesialisasi tertentu dalam departemen/kementerian
tertentu (lingkungan hidup, tenaga kerja, perkebunan, keuangan, dll); (2) dalam
ADP, fungsi/urusan politik luar negeri dilaksanakan oleh pemerintah pusat,
sedangkan pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, dll) dapat dilaksanakan oleh
pemerintah daerah.
Konstituensi. Pembagian kekuasaan dilakukan berdasarkan
penugasan kepada unit pemerintahan yang berbeda yang bertanggungjawab mewakili
konstituen yang berbeda-beda pula.
Eksklusif. Pembagian kekuasaan atas proses,
fungsi, atau konstituensi tertentu menjadi kekuasaan mutlak dari suatu lembaga
atau jenjang pemerintahan tertentu yang tidak dimiliki oleh lembaga atau
jenjang pemerintahan lainnya.
Berbagi. Kekuasaan atas proses, fungsi, atau
konstituensi kepada lembaga atau jenjang pemerintahan tertentu dibagi bersama
atau dijalankan bersama lembaga atau jenjang pemerintahan lainnya.
CDP dan Pemisahan
Proses. Berdasarkan
cara-cara pembagian kekuasaan di atas (proses, fungsi,
konstituensi, eksklusif, dan berbagi), pembagian kekuasaan di Eropa pada abad
VIII didominasi pembagian kekuasaan dalam bentuk CDP yang didasarkan pada
proses. Pembagian kekuasaan CDP berdasarkan proses lazim disebut sebagai
pemisahan kekuasaan (separation of power).
Dan ketika pemisahan kekuasaan dipadukan dengan checks and balances, maka perpaduannya akan memunculkan pembagian
kekuasaan (division of power).
ADP dan Pembagian
Fungsi. Pembagian kekuasaan secara ADP yang paling
populer adalah berdasarkan fungsi, dan lazim dikenal sebagai federalisme. Di
Amerika, sebelum terjadinya Civil War, federalisme dilaksanakan secara
eksklusif (beberapa fungsi pemerintahan dilaksanakan oleh pemerintah federal
secara mutlak. Misalnya, pecetakan mata uang). Namun setelah Civil War,
federalisme di Amerika berubah dari eksklusif ke berbagi (ada fungsi-fungsi
pemerintahan yang dapat dijalankan secara berbagi antara pemerintah federal dan
negara bagian).
Hubungan CDP dan ADP. CDP berorientasi pada sentralisasi, sedangkan ADP berorientasi pada
desentralisasi. Dengan demikian, CDP berkaitan erat dengan ADP.
CDP/sentralisasi dan ADP/desentralisasi saling melengkapi satu sama lain dalam
pencapaian nilai-nilai atau tujuan pemerintahan, jika penerapan keduanya
dilakukan secara tepat. Hal ini karena untuk melaksanakan fungsi pemerintahan, pembagian
kekuasaan tidak hanya dilakukan secara horisontal (CDP), tetapi juga vertikal
(ADP), sehingga apa yang menjadi kebutuhan masing-masing jenjang pemerintahan
–yang seringkali juga berbeda-beda kebutuhannya, akan terpenuhi secara optimal
melalui kerjasama antar jenjang atau fungsi masing-masing pemerintahan.
Hubungan Pembagian
Kekuasaan Pemerintah dengan Non-Pemerintah. Dalam konsep tata
pemerintahan yang baik yang berkembang saat ini, unsur “kekuasaan”
non-pemerintah (institusi
swasta dan masyarakat sipil) atau non-governmental division of power (NDP)
diberikan ruang
partisipasi untuk turut berkontribusi dalam pemerintahan untuk mencapai
nilai-nilai atau tujuan yang hendak dicapai oleh negara. Dalam konteks ini, NDP memiliki
kemampuan untuk ikut serta mencapai
tujuan pemerintahan secara optimal, sekaligus memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi pilihan-pilihan masyarakat, hubungan kekuasaan, dan mempengaruhi
implementasi dari CDP dan ADP itu sendiri.
Arti Penting ADP. ADP merupakan instrumen untuk mempelajari pemerintahan daerah dan
relasinya dengan pemerintahan pusat. Karakteristik ADP: (1) ADP selalu
diasosiasikan dengan nilai dasar masyarakat, sehingga ADP dapat digunakan untuk
mengenali nilai dasar masyarakat ini; (2) ADP memahami secara sistematis banyak
metode pembagian kekuasaan pemerintahan secara per daerah dan mendorong studi
perbandingannya; (3) ADP diterapkan secara sama terhadap negara federal dan
negara bagian, yang mana tidak dimiliki oleh sistem analis lain; dan (4) ADP
memberikan dasar bagi pengembangan hubungan timbal balik antara pembagian
kekuasaan antara pusat dan daerah dan pembagian kekuasaan non-pemerintah.
Mengapa ADP Kurang
Dipelajari? Ada beberapa alasan kenapa ADP kurang dipelajari:
(1) ilmu pemerintahan seringkali memfokuskan diri pada pembagian kekuasaan
secara horisontal (CDP); (2) adanya faktor yang mengaitkan munculnya negara
bangsa yang lebih memusatkan pada kekuasaan di tingkat nasional dan menghindari
pembagian kekuasaan secara vertikal (khawatir kekuasaan nasional akan tergerus
akibat disintegrasi negara bangsa); (3) kaum pluralis abat ke-19 dan ke-20 di
luar Amerika menentang doktrin tentang kedaulatan dan menghambat pembagian
kekuasaan secara vertikal; (4) para ilmuwan politik terpesona dengan trias
politika atau pola pembagian kekuasaan atas tiga bagian (eksekutif, legislatif,
dan yudikatif).
Comments
Post a Comment