Menakar Vexatious Litigation dalam Pasal 4 Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik
Pendahuluan
Sejak efektif diberlakukan pada 30 April 2010, Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) telah dimanfaatkan para pemohon informasi publik untuk mengajukan permintaan informasi ke badan publik. Data Koalisi Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) menyebutkan bahwa selama kurun waktu tahun 2010 hingga Juli 2016 setidaknya terdapat 2385 putusan sengketa informasi di 29 Komisi Informasi. Jumlah putusan ini tentunya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pengajuan sengketa informasi yang belum diputus oleh Komisi Informasi.
Data Komisi Informasi Pusat (KI Pusat), misalnya, menunjukkan bahwa dari tahun 2010 hingga 2017, KI Pusat telah menerima 2724 permohonan sengketa informasi, dengan rincian, 901 sengketa informasi telah diputus, dan 1823 masih dalam proses penyelesaian. Terdapat hal menarik dari 1823 sengketa informasi ini. Pertama, dari 1823 sengketa informasi, 1209 diantaranya merupakan permohonan sengketa informasi yang diajukan oleh Muhammad Hidayat atau lebih dikenal sebagai MHS. MHS mengajukan 1209 sengketa informasi tersebut dengan menggunakan beberapa identitas, antara lain: Mata Ummat, Perkumpulan Mata Umat, Pergerakan Mata Umat, Sahabat Muslim, Sahabat Muslim Indonesia, dan Perkumpulan Sahabat Muslim. Kedua, 1209 permohonan sengketa dilakukan MHS pada tahun 2014 dan keseluruhannya dianggap tidak memiliki kepentingan langsung dengan informasi yang diminta.
Apa yang dilakukan MHS ini kemudian menjadi “inspirasi” di berbagai daerah dengan munculnya pemohon informasi dengan tipikal yang sama dengan MHS. Misalnya, Topan AD, GAKOSS, Komite Penegak Kebenaran Sumatera Selatan, Gerakan Indonesia Bersatu Sumatera Selatan, Sarvodaya, dll. Apa yang dilakukan pemohon informasi tersebut dianggap mengganggu, karena tidak memiliki kepentingan langsung dengan informasi yang diminta, pemohon seringkali meminta informasi yang sama secara berulang-ulang ke berbagai badan publik, pemohon seringkali menyengketakan badan publik, dll.
Oleh karena itu, pada 29 April 2013, Komisi Informasi Pusat mengesahkan Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik (Perki 1/2013). Di mana Perki 1/2013 dalam Pasal 3 dan Pasal 4 mengatur mengenai vexatious litigation untuk meminimalisir pemohon-pemohon informasi yang dianggap mengganggu. Pelaksanaan lebih lanjut mengenai vexatious litigation sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ini diatur lebih lanjut dalam keputusan Ketua KI Pusat. Dan pada Februari 2018, KI Pusat mengeluarkan rancangan Keputusan Ketua KI Pusat tentang Pelaksanaan Ketentuan Pasal 4 Perki 1/2013.
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan saya sebelumnya: Tinjauan Hukum Permohonan Informasi yang Tidak Sungguh-Sungguh dan Beritikad Baik (Vexatious Request). Dalam tulisan kali ini, saya ingin mengkaji lebih jauh mengenai vexatious litigationdan penerapannya dalam konteks sengketa informasi, khususnya dalam Perki 1/2013 dan rancangan Keputusan Ketua KI Pusat tentang Pelaksanaan Ketentuan Pasal 4 Perki 1/2013.
Definisi Vexatious Litigation
Black’s Law Dictionary Edisi Pocket (1996: 654-655), mendefinisikan vexatious litigation sebagai “one or more lawsuit filed without reasonable or probable cause.” Sedangkan Cornell Law School mendefinisikan vexatious litigation sebagai: “Legal proceedings started with malice and without good case. Vexatious litigation is meant to bother, embarrass, or cause legal expenses to the defendant. A plaintiff who starts such litigation either knows or should reasonably know that no legal basis for the lawsuit exists. Kemudian Gilbert’s Law Summaries Edisi Pocket (1997: 1997) mendefinisikan vexatious litigation sebagai “Proceeding instituted which is not bonafide, but which is instituted without probable cause, maliciously, or intended to harass the opponent.”
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur utama vexatious litigation adalah gugatan yang tidak memiliki alasan yang benar, ditujukan untuk mengganggu, mempermalukan, menimbulkan biaya hukum bagi tergugat.
Pro-Kontra Pengaturan Vexatious Litigation dalam Sebuah Regulasi
Penerapan vexatious litigation di Indonesia menempatkan dua kelompok, yaitu yang pro dan yang kontra. Kelompok yang pro terhadap pengaturan vexatious litigation dalam sebuah regulasi berpandangan bahwa: pertama, gugatan atau laporan yang tidak memiliki alasan yang benar, dan terlebih lagi bertujuan untuk mengganggu, mempermalukan, menimbulkan biaya hukum bagi tergugat, harus diminimalisir atau bahkan dicegah. Kedua, tidak jarang hakim memiliki ambisi untuk menjadi tenar dengan mengabulkan gugatan yang dianggap sebagai vexatious litigation ini.
Sedangkan kelompok yang kontra terhadap pengaturan vexatious litigation dalam sebuah regulasi beralasan: pertama, Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 4/2004) yang menyatakan: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk me-meriksa dan mengadilinya.” Kedua, vexatious litigation akan semakin menjauhkan hakim atau pengadilan dari masyarakatnya. Ketiga, menjadikan hukum positif tidak responsif terhadap rasa keadilan. Dalam konteks ini, misalnya tergugat dapat dengan nyaman berlindung di balik jubah hakim melalui prinsip vexatious litigation. Keempat, vexatious litigation berpotensi memunculkan judicial dictatorship.
Artikel selengkapnya dapat dilihat disini.
Comments
Post a Comment