Tulisan “Positive Language and Positive Law in Plato’s Cratylus” membahas mengenai asal-usul, perdebatan, dan dinamika bahasa positif dan hukum positif. Hukum positif (positive law), merupakan terjemahan langsung dari bahasa LATIN, ius positivum dan lex positiva, yang mana ini tidak merujuk dari bahasa Yunani, meskipun ius positivum dan lex positiva ini sebenarnya berasal dari perdebatan Yunani mengenai apakah kata yang tepat adalah natural (phusei) atau positive (thesei).
Jika kembali ke sejarah penemuan hukum positif, maka kita akan kembali pada komentar Chalcidius mengenai Timaeus Plato yang berbicara mengenai keadilan positif. Keadilan positif ini sendiri diambil Chalcidius dari bahasa yang digunakan oleh Aulus Gellius. (Hukum) Positif memiliki dua makna, yaitu: (1) Deskripsi tentang asal-usul, sumber kata, atau hukum; konten hukum yang sengaja dipaksakan; biasanya berlawanan dengan kebiasaan; dan (2) Tesis normatif tentang arti kata/isi hukum: biasanya terkait dengan kebiasaan; kata positif tidak berkorelasi dengan makna intrinsiknya. Misalnya, hukum positif tidak berkorelasi dengan moralitas. Dua definisi (hukum) positif, meskipun berkaitan erat, tetapi sebenarnya jauh dari coextensive (memiliki arti yang sama dalam skala yang luas).
Selain itu, kata “positif” digunakan untuk membedakan dua konsep yang berbeda tersebut karena kata positif tidak berkorelasi dengan makna intrinsiknya, pun demikian dengan hukum juga tidak selalu sama dengan moralitas. Namun demikian, kekuatan dan keberlakuannya harus dilakukan dengan keputusan yang disengaja/dipaksakan. Sebagai contoh, hukum berkorelasi instrinsik dengan moralitas, seringkali tidak perlu dipaksanakan dengan sengaja. Namun demikian, kesimpulan tersebut juga tidak sepenuhnya benar, karena kata-kata atau hukum alam juga dapat dipaksakan secara sengaja.
Wacana hukum positif berasal dari perdebatan pada masa Yunani Kuno. Para sejarawan hukum positif juga hanya mampu memberi tahu kita sebatas ini, karena mereka pun belum mampu membongkar kompleksitas konsep hukum positif. Para sejarawan tidak melihat bagaimana perdebatan Yunani tentang bahasa yang memunculkan istilah, sekaligus konsep (kebingungan dan diskursus) hukum positif. Makna leksikal (sebenarnya) dari hukum positif tentu saja akan berbeda dengan makna konseptualnya.
Masyarakat kuno menganggap bahwa bahasa memiliki hubungan realitas: ucapan dan kenyataan atau kata dengan perbuatan tidak dapat dipisahkan. Seiring dengan perjalanan waktu, perbedaan kata dan perbuatan menjadi sangat filosofis. Filsafat bahasa dimulai dengan refleksi perbedaan antara kata dan perbuatan. Cerita Illiad dan Odysseus (pahlawan dalam mitologi Yunani). Odysseus terkenal karena kecerdikannya dalam meloloskan diri dalam semua situasi sulit.
Kalimat sederhana yang dapat digunakan untuk membedakan kata dan perbuatan, misalnya: “mereka berteman dalam pembicaraan, tetapi tidak dalam perbuatan.” Bahasa diidentifikasikan dengan opini belaka, berbeda dengan sifat esensial dari kenyataan. Sebagai contoh, ungkapan dari Democritus mengenai rasa manis, pahit, panas, dingin, dan berwarna, padahal kenyataannya hanya atom dan kekosongan.
Kembali ke hukum positif, jika ditelusuri, makna hukum positif ini merupakan transformasi dari nomoi (konvensi). Konvensi muncul tidak secara spontan, tetapi oleh peralatan dan kesengajaan manusia, baik secara diam-diam, melalui kebiasaan, atau permberlakuan. Pemahaman utuh mengenai transformasi mengenai diskursus apa yang alami dan apa yang konvensional baru terbukti ketika kita beralih ke Plato, khususnya dalam Cratylus Plato.
Cratylus Plato merupakan dialog antara Socrates, Hermogenes, dan Cratylus terkait dengan metode atau tujuan menugaskan “nama” untuk hal-hal tertentu (correctness of names). Dalam dialog tersebut, terdapat tiga tokoh sentral, yaitu Cratylus, Hermogenes, dan Socrates. Dalam dialog tersebut, Cratylus mengungkapkan bahwa pemberian nama harus sesuai dengan sifat dan esensi nama yang diberikan. Kemudian di lain pihak, Hermogenes, tidak setuju dengan Cratylus, bahwa pemberian nama tidak harus mencerminkan sifat dari namanya. Socrates, yang bertindak sebagai “wasit” mengatakan, kepada Cratylus bahwa bahwa benar pemberian nama harus mencerminkan sifat dan esensi dari namanya, tetapi tidak tepat ketika nama-nama harus tumbuh secara alami dan spontan. Kemudian kepada Hermogenes, Socrates mengatakan bahwa benar nama tidak tumbuh secara alami, tetapi merupakan produk dari konvensi manusia, tetapi tidak tepat ketika nama tidak harus mencerminkan sifat dari namanya.
Dalam konteks perdebatan Socrates, Hermogenes, dan Cratylus tersebut, dalam pembuatan hukum (positif) harus dilakukan layaknya pembuatan karya seni, dimana seni itu konvensional, berakar, sebagaimana adanya, dari tujuan dan keputusan manusia tertentu, tetapi dalam isinya, seni itu alami, karena mereka bersandar pada pengetahuan tentang jenis-jenis alami, pada sifat-sifat esensial dari berbagai hal. Dengan kata lain, hukum harus dibentuk dengan mengindahkan aspek alami dan konvensi yang sesuai dengan kebenaran dan kebutuhan manusia.
Comments
Post a Comment