Tafsir Pemenang Pilpres Menurut Pasal 6A UUD NRI Tahun 1945

Mendadak jadi pengen ikut-ikutan jadi ahli dadakan. Khusus soal perdebatan penetapan presiden dan wakil presiden, dan lebih khusus lagi soal Pasal 6A ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

Biar ga salah nge-baca, kita coba kutip utuh Pasal 6A. Etapi, kalo temen-temen baca di UUD NRI Tahun 1945 nanti di masing-masing ayat di Pasal 6A itu ada tanda bintangnya (*), tau kan artinya? Ya, jumlah bintang itu menunjukkan itu hasil amandemen ke berapanya gitu. Kalo satu *, berarti hasil amandemen kesatu, ** hasil amandemen kedua, dst. sampai ****, karena UUD NRI Tahun 1945 ini diamandemen sebanyak empat kali.

Oke, kita ke Pasal 6A, lengkapnya seperti ini:

  1. Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. ***)

  2. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. ***)

  3. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara disetiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. ***)

  4. Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. ****)

  5. Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang. ***)

Nah, perdebatannya ada di ayat (3) dan juga nyerempet di ayat (4). Secara gramatikal, Pasal 6A ayat (3) itu kalo dipecah unsurnya jadi seperti ini, bahwa calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden adalah:

  1. Pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen suara dari total jumlah suara dalam pemilihan umum; dan

  2. Pasangan calon tersebut sedikitnya memperoleh dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Dari pemecahan unsur di Pasal 6A ayat (3) ini sudah jelas belum? Sederhananya, calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih itu harus menang 50%+1 (setidaknya) dari total pemilih DAN memperoleh suara minimal 20% di setiap provinsi di minimal 18 provinsi di Indonesia, karena Indonesia saat ini terbagi menjadi 34 provinsi, dan ayat (3) tadi kan menyebutkan lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, jadi perolehan 20% suara di setiap provinsi di 18 provinsi adalah angka minimal kalo menurut ayat (3) tersebut. Jelas ya?

Oke, perdebatan berikutnya adalah soal Pasal 6A ayat (3) ini berlaku untuk berapa paslon? Di ayat (3) ini tidak disebutkan, tapi jika dibaca secara sistematis dengan ayat (4), akan terlihat bahwa di ayat (3) ini berlaku untuk pilpres dengan lebih dari dua paslon. Coba baca dengan cermat ayat (4)-nya, “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung…” dan pemenang menurut ayat (4) ini sebagaimana tertulis di kalimat terakhir ayat (4), “…dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”

Nah, kemudian PKPU No. 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum, khususnya di Pasal 3, dan lebih khusus lagi Pasal 3 ayat (7) mengatur sebagai berikut: “Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih.” Pertanyaannya, apakah Pasal 3 ayat (7) ini bertentangan dengan Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD NRI Tahun 1945? Menurut saya TIDAK. Terlebih lagi dengan adanya Putusan MK No. 50/PUU-XII/2014. Kutipan isi putusan MK tersebut kurang lebih seperti ini:

  1. Pasal 6A ayat (3) tidak membedakan apakah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terdiri dari dua paslon atau lebih. Sehingga paslon terpilih tetap harus memenuhi ketentuan Pasal 6A ayat (3). Pasal 6A ayat (3) ini mengatur dua syarat keterpilihan, yaitu: suara terbanyak dan representasi wilayah pemilih. Nah, maksudnya kedua calon tidak bisa memenuhi keduanya, maka yang menentukan adalah suara terbanyak (Pasal 6A ayat (4)). Nah, untuk memenuhi unsur representasi, MK berpendapat bahwa tujuan dari representasi ini adalah kedaulatan rakyat, nah secara historis pembahasan amandemen UUD NRI Tahun 1945, khususnya soal Pasal 6A ini, kedaulatan rakyat ini dapat diperoleh melalui: paslon dipilih secara langsung oleh rakyat atau paslon dipilih oleh MPR atau paslon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Nah, MK menganggap bahwa pencalonan paslon oleh partai politik atau gabungan partai politik (Pasal 6A ayat (2)) ini telah memenuhi prinsip representasi keterwakilan seluruh daerah di Indonesia, karena partai politik atau gabungan partai politik nasional merupakan representasi penduduk di seluruh wilayah Indonesia dengan adanya basis pendukung yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jadi, persyaratan bagi paslon terpilih menurut Pasal 6A ayat (3) itu terpenuhi melalui Pasal 6A ayat (2) untuk representasi dan Pasal 6A ayat (4) untuk perolehan suara terbanyak.

  2. Jika paslon tidak ada yang memenuhi ketentuan Pasal 6A ayat (3), maka harus dilihat apakah paslon lebih dari dua pasangan atau hanya dua pasangan saja? Jika lebih dari dua pasangan, maka secara otomatis akan mengaktifkan Pasal 6A ayat (4), atau dengan kata lain, akan dilakukan pemilihan putaran kedua. TETAPI, penentuan pemenang tetap berlandaskan Pasal 6A ayat (3).

  3. Jika paslon hanya dua (sejak awal), maka perhitungan suara, terlebih dahulu harus tetap berlandaskan Pasal 6A ayat (3). Dari situasi ini akan ada dua kemungkinan: (1) paslon mendapatkan suara 50% lebih dan dengan sedikitnya 20% suara yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Jika ini yang terjadi, maka paslon ini yang akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden; dan (2) kedua paslon tidak memenuhi ketentuan Pasal 6A ayat (3), maka paslon dengan suara terbanyak yang akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Namun demikian, perlu dicatat bahwa Putusan MK No. 50/PUU-XII/2014 tersebut ada dissenting opinion dari Wahiduddin Adams yang tetap berpendapat bahwa ketentuan Pasal 6A ayat (3) mutlak diberlakukan, karena dikhawatirkan akan lahir Presiden dan Wakil Presiden yang memenangkan pilpres hanya dengan berfokus pada kemenangan di daerah-daerah strategis saja (Pulau Jawa dan beberapa provinsi yang jumlah pemilihnya besar) sehingga representasi suara rakyat di daerah-daerah yang dianggap kurang strategis (wilayahnya luas secara geografis, tetapi jumlah pemilihnya sedikit) akan hilang begitu saja berdasarkan prinsip simple majority yang bertolak belakang dari suasana kebatinan lahirnya Pasa 6A UUD NRI Tahun 1945.

Nah, di luar adanya dissenting opinion tersebut, Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya No. 50/PUU-XII/2014 telah memberikan makna bahwa dalam hal pilpres yang hanya diikuti dua paslon, maka paslon terpilih ditetapkan berdasarkan perolehan suara terbanyak dalam pilpres.

Trus, kalo dikaitin dengan Pilpres 2019 ini, ada baiknya kita menunggu hasil penghitungan KPU. Sabar aja sampai 22 Mei 2019 nanti. Ga lama kok. Kecuali nunggunya sambil nyinyir dan ikut-ikutan mendelegitimasi KPU. Ingat, “Pesta demokrasi telah usai … Mari berdamai dengan hati. Jangan nodai ibadahmu dengan nyinyir tanpa henti.”

Jakarta, 20 April 2019

Comments