Tulisan “Forgetting the Act of Forgetting: Raz’s Inaccessible Origin of Legal Reasoning” membahas pemikiran Joseph Raz mengenai asal-usul hukum. Berbeda dengan pemikiran Hobbes, Rousseau, Austin, dan Kelsen yang sepertinya belum melihat situasi pra-hukum sebagai sesuatu hal yang penting untuk dikaji, Raz justru mengakui bahwa kondisi pra-hukum memiliki peranan yang penting dalam mengkonstruksi kewajiban hukum.
Lebih lanjut, Raz menegaskan bahwa keberadaan hukum, erat kaitannya dengan berbagai kedekatan dan pengalaman para pejabat hukum yang dibagikan kepada lembaga hukum yang menaunginya. Namun demikian, sayangnya, pejabat hukum ini melupakan kondisi pra-hukum dalam melakukan kajian mengenai hukum. Padahal menurut Raz, kondisi pra-hukum merupakan suatu pengalaman yang harus diperhatikan dalam menelusuri asal-usul hukum, sehingga kemudian akan menjadi dasar pemikiran dalam pembuatan hukum berikutnya.
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa Raz mengakui kondisi pra-hukum sebagai asal-usul dari hukum. Raz memandang bahwa kondisi pra-hukum yang membentuk hukum berasal dari konsensus masyarakat yang merupakan wujud dari kepentingan umum (kebaikan bersama, kesatuan sosial, dan stabilitas sosial). Kemudian, dalam perkembangannya, masyarakat (dan pejabat) akan terikat dalam konsensus masyarakat tersebut, yang termanifestasi dalam ikatan emosional dan berbagai elemen simbolis, antara lain lambang negara, budaya, bahasa, sastra, makanan, bendera, lagu kebangsaan, dll. Ikatan emosional dan ikatan elemen simbolis ini kemudian melahirkan konsensus masyarakat tentang budaya hukum negara. Namun demikian, terdapat inkonsistensi dalam pemikiran Raz, khususnya terkait dengan ikatan emosional. Di satu sisi Raz berpendapat bahwa, pemenuhan kewajiban hukum terkait dengan ikatan emosional masyarakat terhadap kondisi pra-hukum. Di sisi lainnya, Raz juga menyatakan bahwa kayakinan seseorang terhadap ikatan emosional tidak dapat menjadi alasan untuk menyatakan kebenaran dari suatu hukum. Terhadap situasi ini, Raz kemudian menegaskan bahwa keyakinan seseorang tersebut harus didasarkan pada kebenaran. Sehingga, kebenaran ini merupakan alasan seseorang untuk bertindak, karena kebenaran ini nantinya akan menyumbang pada kebaikan bersama. Pengalaman dan ikatan ini harus dialami oleh pejabat hukum yang akan membuat hukum sesuai dengan kebenaran substantif yang ada di masyarakat.
Lebih lanjut, Raz berpendapat bahwa hukum positif harus dimaknai berdasarkan keberadaan struktur kelembagaan dimana hukum tersebut diajukan. Dalam teorinya, moralitas bukan merupakan faktor yang menjadikan seseorang mematuhi hukum yang dikeluarkan lembaga hukum. Kepatuhan seseorang terhadap hukum ditentukan oleh sikap hormatnya terhadap lembaga hukum tersebut, sehingga kemudian akan mendorong kepatuhannya terhadap hukum yang dikeluarkan oleh lembaga hukum tersebut. Sikap hormat ini dibentuk dari ikatan pengalaman individu dengan lembaga tersebut. Dan lebih jauh, sikap hormat ini kemudian juga mendorong adanya rasa memiliki dari warga negara terhadap lembaga-lembaga hukum yang ada.
Meskipun moralitas bukan merupakan faktor bagi seseorang mematuhi hukum, tetapi Raz menetapkan moralitas sebagai sesuatu yang sangat istimewa. Dalam pandangannya, moralitas selalu bercirikan kesadaran diri setiap individu. Sifat kognitif dari moralitas tersebut kemudian mendorong ikatan pengalaman dengan lembaga-lembaga hukum yang kemudian dimanifestasikan dalam kesetiaan dan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga hukum.
Kemudian yang menarik adalah Raz melibatkan penalaran terhadap moral ke dalam musyawarah untuk turut serta menentukan benar atau tidaknya tindakan seseorang. Meskipun keputusan mengenai benar atau tidaknya tindakan seseorang ini akan subjektif, tetapi jika nantinya dihadapkan dengan kepentingan umum, maka keputusan tersebut akan menjadi prioritas untuk diterima sebagai keputusan bersama. Kegiatan musyawarah ini, oleh Raz, kemudian dijadikan sebagai ciri dari kegiatan penalaran hukum (legal reasoning). Untuk mengambbarkan kegiatan penalaran hukum, Raz mengambil contoh musyawarah hakim dalam sistem hukum Eropa Kontinental. Hakim sebagai pembentuk hukum melakukan penalaran hukum untuk menentukan benar tidaknya tindakan seseorang. Penalaran hukum ini dilakukan melalui, analisis dan perenungan terhadap pilihan-pilihan nilai yang diajukan/diargumentasikan, kemudian menentukan pilihan dari opsi-opsi pilihan yang tersedia, dan melembagakannya nilai yang sudah dipilih tersebut ke dalam putusan hakim (putusan lembaga). Dan, yang perlu diperhatikan dalam penalaran hukum adalah keharusan mengecualikan nilai-nilai individu.
Senada dengan Conklin, saya juga mengapresiasi teori hukum positif dari Joseph Raz. Hal ini karena: (1) Raz tidak hanya menekankan hukum positif dalam bentuk hukum tertulis sebagaimana dilakukan oleh ahli-ahli hukum pendahulunya; (2) Raz memberi tempat yang istimewa terhadap kondisi pra-hukum dalam mengkonstruksi hukum positif; (3) Raz menegaskan bahwa kepatuhan masyarakat terhadap hukum didasarkan pada kepercayaanya terhadap lembaga hukum yang mengeluarkan hukum tersebut; dan (4) Raz juga menempatkan penalaran hukum ke dalam musyawarah untuk menentukan benar atau tidaknya tindakan seseorang. Hal-hal ini relevan dan logis dalam konteks kondisi sosial masyarakat saat ini, bahwa sumber hukum sangat banyak, baik tertulis maupun tidak tertulis, kepatuhan masyarakat terhadap hukum saat ini disandarkan pada kepercayaannya terhadap lembaga-lembaga hukum negara. Selain itu, praktik pembuatan putusan lembaga-lembaga yudisial juga dilakukan berdasarkan penalaran hukum yang dilakukan melalui musyawarah oleh hakim atau pejabat yang berwenang mengambil keputusan hukum tersebut.
Comments
Post a Comment