An Invisible Nature: The Origin of Thomas Hobbes’s Civil Law

Tulisan “An Invisible Nature: The Origin of Thomas Hobbes’s Civil Law” membahas mengenai pemikiran Hobbes terkait dengan hukum perdata (cilil law) yang bergantung pada otoritas yang tidak terlihat. Pemikiran ini tentu saja bertentangan dengan pemikiran umum yang berkembang, bahwa hukum, termasuk hukum perdata diciptakan oleh para legislator yang berdaulat, yang sebelumnya sudah dibentuk atau dipilih oleh masyarakatnya. Tidak ada institusi mandiri manapun di masyarakat, negara lain, penulis atau pekerja moral, termasuk hakim yang tidak tunduk kepada hukum yang diciptakan oleh para legislator berdaulat. Pemikiran Hobbes terhadap hukum perdata berbeda dengan pemikiran umum tersebut, dan pada akhirnya menjadi paradoks terhadap pemikiran umum tersebut.

Dalam pemikiran Hobbes, hukum perdata sebenarnya merupakan manifestasi penghormatan terhadap kehidupan dan kebebasan masyarakat. Jika ditelusuri lebih jauh, hukum perdata yang merupakan manifestasi penghormatan terhadap kehidupan dan kebebasan masyarakat ini dapat bermuara pada banyak gagasan hukum. Misalnya, bahwa hukum perdata lekat dengan: (1) alam atau hukum alam; (2) kebebasan individu, terutama terkait dengan hak-hak individu masyarakat; (3) lekat dengan hasrat kebendaan yang tidak terbatas; dan (4) pemikiran agama (kristen), yang menunjukkan bahwa pemikiran Hobbes terletak pada dua spektrum kehidupan manusia, yaitu sebelum ada negara dan setelah ada negara. Dalam kehidupan manusia sebelum ada negara, maka hukum yang berlaku adalah yang terkuat yang akan menang. Sedangkan kondisi setelah ada negara, termanifestasi dengan adanya kebebasan berkontrak oleh masyarakat (kontrak sosial).

Selain itu, pemikiran Hobbes terkait dengan hukum perdata juga erat kaitannya dengan pemikirannya sendiri tentang bahasa (nama atau tanda). Seorang penulis, menciptakan produk (teks, ide, dll) dengan memberikan nama atau tanda, sehingga nama atau tanda ini akan mewakili dari masing-masing produk yang ditunjuk tadi. Bahasa/nama/tanda ini menjadi sekat-sekat bagi semua orang, dimana mereka tidak bisa keluar darinya. Dalam konteks bahasa ini, pemikiran Hobbes jelas, bahwa hukum positif -termasuk hukum perdata, diciptakan melalui perpaduan antara hukum alam dan konsensus dalam masyarakat, yang diarahkan untuk penghormatan terhadap kehidupan dan kebebasan masyarakat, sekaligus untuk menciptakan dan mempertahankan ketertiban di dalam masyarakat.

Dalam konteks pemikiran Hobbes tersebut, peran para legislator berdaulat adalah merumuskan hukum yang mendasarkan pada peran bahasa (nama atau tanda), hukum alam, dan konsensus, yang tujuan akhirnya adalah penghormatan kehidupan, kebebasan, dan ketertiban masyarakat. Manakala para legislator berhasil merumuskan hukum sesuai dengan pemikiran Hobbes tersebut, maka keadilan telah terinternalisasi di dalam hukum tersebut. Oleh karenanya, semua institusi negara, termasuk hakim dan pengacara harus tunduk pada hukum yang dibuat legislator berdaulat tersebut. Namun demikian, salah satu catatan terhadap pemikiran Hobbes tersebut adalah manakala Hobbes mengatakan bahwa hukum tertulis dianggap lebih berwibawa dibanding dengan hukum tidak tertulis (natural law). Hal ini karena hukum tertulis lebih memiliki kekuatan mengikat dibanding hukum tidak tertulis.

Comments