Posts

Showing posts from July, 2020

Positive Language and Positive Law in Thomas Hobbes

Tulisan “Positive Language and Positive Law in Thomas Hobbes” membahas mengenai pemikiran Hobbes terkait dengan hukum positif ala Hobbes, yang ternyata tidak dapat dilepaskan dari hukum kodrat. Atau lebih tepatnya, tulisan ini mencoba menunjukkan kombinasi halus antara hukum positif dan hukum kodrat yang dilakukan oleh Hobbes. Sebagaimana dipahami banyak sejarawan, hukum positif lahir dari perdebatan mengenai bahasa pada masa Yunani kuno, terutama perdebatan antara Hermogenes, Cratylus, Aristoteles, (dan Plato). Hukum positif lahir dari konsensus sosial atau dalam bahasa Yunani disebut sebagai syntheken. Dalam syntheken sendiri terkandung makna sesuai dengan kesenangan (pemberi hukum). Makna kesenangan disini dapat juga dilihat sebagai kesewenang-wenangan penguasa. Dengan demikian, hukum positif ini lahir dari konsensus yang ada di dalam masyarakat, yang kemudian diberlakukan (secara paksa) oleh penguasa, karena menurut penguasa keberlakukan konsensus tadi memberikan rasa

Industri Migas dan Tantangan Pencegahan Celah Korupsi di Indonesia (Oil and Gas Industry & The Challenges of Corruption Prevention in Indonesia)

Sektor minyak dan gas bumi (Migas) merupakan salah satu sektor industri strategis yang dianggap rentan oleh praktik korupsi. Pandangan tersebut terkonfirmasi oleh hasil Survei Persepsi Korupsi tahun 2015 oleh The Transparency International yang menempatkan migas di urutan ketiga setelah bisnis konstruksi dan jasa, sebagai sektor usaha yang memiliki persentase suap terbesar. Kendati begitu, industri migas memiliki prevalensi (tingkat intensitas) yang paling tinggi bersama sektor tambang dan hutan, baik di level nasional maupun lokal. Pada temuan lain di akhir tahun 2014, Lembaga Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis laporan yang menyatakan industri eksploitasi sumber daya alam atau ekstraktif, seperti minyak dan gas, adalah industri terkorup di dunia. Laporan OECD Foreign Bribery menunjukkan dari 427 kasus korupsi di 2014, 19% berasal dari sektor industri ekstraktif. Dari 176 kasus yang dituntut di bawah Foreign Corrupt Practices Act (FCP

Kemitraan Konservasi Sebagai Upaya Penyelesaian Konflik Tenurial dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia

Kawasan konservasi Indonesia yang luasnya mencapai 27,14 juta hektare dikelilingi kurang lebih 6.381 desa yang menggantungkan kehidupannya kepada kawasan konservasi. Akibatnya terjadi konflik antara masyarakat dengan pengelola kawasan konservasi. Konflik terjadi karena adanya perbedaan kepentingan. Di satu sisi, masyarakat membutuhkan penghidupan dari kawasan konservasi, kemudian di sisi yang lain, pengelola kawasan konservasi memiliki mandat untuk menjaga keutuhan, keaslian, dan kelestarian kawasan konservasi. Dalam situasi konflik kepentingan tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan kemitraan konservasi. Tulisan ini merupakan penelitian hukum dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan historis (historical approach). Tulisan ini akan menelaah dan menguraikan perkembangan pengaturan mengenai kemitraan konservasi yang dimulai dari UU No. 5/1990 hingga yang terakhir adalah Perdirjen KSDAE No. 6/2018, catatan-catatan kritis terhadap Pe

Desain Sistem Pengelolaan Sengketa Informasi Publik di Komisi Informasi

Peraturan Komisi Informasi mengatur prinsip penyelesaian sengketa informasi yang dilakukan berdasarkan asas cepat, tepat, biaya ringan, dan sederhana. Salah satu upaya untuk dapat memenuhi prinsip-prinsip tersebut, Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) perlu mengembangkan sistem pengelolaan sengketa informasi publik (case management system/CMS). CMS ini dikembangkan dengan maksud agar sengketa informasi publik yang diajukan Pemohon sesuai dengan UU KIP, dan dapat dikelola Panitera KI Pusat secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel, sehingga prinsip penyelesaian sengketa secara murah, cepat, tepat, biaya ringan, dan sederhana dapat dicapai. Untuk tujuan tersebut, saya kemudian mengembangkan desain CMS yang berbasis web, yang akan secara otomatis membagi tugas penyelesaian sengketa kepada seluruh anggota Komisi Informasi, dan juga dapat men- generate laporan penyelesaian sengketa informasi dalam berbagai format (HTML, PDF, MS. Office). Desain CMS selengkapnya d

Seri Panduan: Meminta Informasi dan Menyelesaikan Sengketa Informasi

Sejak tahun 2008, hak masyarakat atas informasi mendapatkan jaminan substansial sekaligus proseduralnya dalam wujud Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Undang-Undang tersebut mengatur secara komprehensif mengenai jaminan hak masyarakat atas informasi, kewajiban badan publik dalam menyelenggarakan pelayanan informasi, tata cara permohonan dan pelayanan informasi, rambu-rambu pengecualian informasi, Komisi Informasi, hingga pengaturan mengenai pemidanaan dalam konteks pelaksanaan UU KIP. Terkait dengan permohonan informasi, berdasarkan Laporan Tahunan Komisi Informasi Pusat (KIPusat) Tahun 2017, tercatat 2.598 permohonan sengketa. Angka ini hanya dari KIPusat saja, belum termasuk dari Komisi Informasi Provinsi maupun kabupaten/kota. Dan apabila mencermati nature sengketa yang diajukan ke Komisi Informasi, mayoritas sengketa terjadi karena alasan prosedural. Dari data yang terhimpun tahun 2011, 70% sengketa informasi disebabkan

Buku Panduan Badan Publik Melaksanakan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) telah berlaku efektif sejak tahun 2010, dan Undang-Undang ini memandatkan berbagai kewajiban kepada Badan Publik, di antaranya menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), menyusun prosedur operasional standar untuk pelayanan informasi, dan Daftar Informasi Publik (DIP). Namun demikian, hanya sedikit dari seluruh badan publik yang telah benar-benar melaksanakan standar minimal ini, dan bahkan sangat sedikit yang telah melaksanakan sesuai dengan praktik standar pelayanan yang baik. Salah satu alasan UU KIP tidak efektif berjalan secara optimal adalah karena lemahnya kapasitas badan publik. Banyak badan publik di seluruh Indonesia yang tunduk pada undang-undang, dan kebanyakan belum memahami langkah-langkah spesifik yang dibutuhkan untuk mengimplementasikannya. Pedoman ini disusun untuk memberi petunjuk tahap demi tahap dalam mengimplementasikan UU KIP, untuk membantu badan

Budaya Transparansi Menuju Tata Kelola Pemerintahan yang Baru

Pada 24 Mei 2016, Koalisi Freedom of Information Network Indonesia atau lebih dikenal sebagai FOINI diundang oleh Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Ditjen PSP) Kementerian Pertanian, sebagai salah satu pembicara dalam Lokakarya bertajuk “Optimalisasi Peran PPID Mendorong Transparansi Publik dalam Mewujudkan Swasembada Pangan.” Dalam lokakarya tersebut, Ditjen PSP meminta FOINI untuk memberikan materi dengan tema “Budaya Transparansi Menuju Tata Kelola Pemerintahan yang Baru.” Dan, FOINI meminta kepada saya untuk menghadiri dan memberikan materi dalam lokakarya tersebut. Merujuk pada undangan dan jadwal yang diberikan, saya kemudian menyusun materi yang akan saya sampaikan dalam lokakarya tersebut. Saya memulai paparan materi saya dengan melakukan beberapa refleksi atas apa yang sudah dicapai Kementerian Pertanian dan Ditjen PSP. Saat itu, berdasarkan hasil pemeringkatan Komisi Informasi Pusat, Kementerian Pertanian menduduki peringkat ke-enam (skor

Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K): Karpet Merah Investasi yang Meminggirkan Masyarakat Pesisir

Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah lautan yang lebih luas dari wilayah daratan. Dikutip dari situs Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Indonesia memiliki 17.499 pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.[1] Total luas wilayah Indonesia adalah 7,81 juta km2, yang terdiri dari 2,1 juta km2 daratan, 3,25 juta km2 lautan, dan 2,55 km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).[2] Dengan luas wilayah tersebut, Indonesia memiliki potensi sumber daya yang sangat besar. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No. 27/2007) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 (UU No. 1/2014) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.[3] Wilayah pesisir Indonesia tersebar di garis pantai sepanjang 81.000 km dan memiliki peran strategis dengan berbagai potensi sumber daya dan jasa lingkungan, sepert