Positive Language and Positive Law in Thomas Hobbes

Tulisan “Positive Language and Positive Law in Thomas Hobbes” membahas mengenai pemikiran Hobbes terkait dengan hukum positif ala Hobbes, yang ternyata tidak dapat dilepaskan dari hukum kodrat. Atau lebih tepatnya, tulisan ini mencoba menunjukkan kombinasi halus antara hukum positif dan hukum kodrat yang dilakukan oleh Hobbes. Sebagaimana dipahami banyak sejarawan, hukum positif lahir dari perdebatan mengenai bahasa pada masa Yunani kuno, terutama perdebatan antara Hermogenes, Cratylus, Aristoteles, (dan Plato). Hukum positif lahir dari konsensus sosial atau dalam bahasa Yunani disebut sebagai syntheken. Dalam syntheken sendiri terkandung makna sesuai dengan kesenangan (pemberi hukum). Makna kesenangan disini dapat juga dilihat sebagai kesewenang-wenangan penguasa. Dengan demikian, hukum positif ini lahir dari konsensus yang ada di dalam masyarakat, yang kemudian diberlakukan (secara paksa) oleh penguasa, karena menurut penguasa keberlakukan konsensus tadi memberikan rasa senang kepada penguasa itu sendiri.

Banyak ahli mengatakan bahwa pemikiran Hobbes sendiri sejak awal sudah terpengaruh dari perdebatan bahasa dan hukum yang sudah mengarah kepada positivistik hukum, dalam arti bahwa hukum yang dipaksakan keberlakuannya oleh pemberi hukum/penguasa. Hobbes senantiasa menegaskan bahwa positivisme hukum dan “bahasa” mencerminkan kehendak bebas dari penguasa dalam rangka mempertahankan ketertiban di masyarakat. Namun demikian, jika menelisik lebih dalam mengenai pemikiran Hobbes, kita tidak dapat serta merta mengatakan bahwa Hobbes menganut aliran hukum positif murni. Menurut Hobbes, hukum positif disusun dan dibatasi oleh gejala-gejala alamiah, dalam artian bahwa kehendak pemberi hukum/penguasa dalam membuat hukum dibatasi oleh gejala-gejala alamiah hukum tersebut.

Dalam membuat hukum positif, Hobbes terkadang menekankan peran konsensus/konvensi, sementara di lain waktu, Hobbes juga menekankan peran alam (peran alam ini, oleh Hobbes didefinisikan sebagai hasrat alamiah dan kebiasaan serta kepentingan laki-laki). Dari sini terlihat bahwa sulit mengatakan bahwa Hobbes adalah seorang positivis, karena dia juga menekankan teori hukum kodrat. Pada akhirnya, kita harus melihat bahwa Hobbes mengkombinasikan secara halus antara hukum positif dan hukum kodrat.

Untuk melihat kombinasi halus hukum positif dan hukum kodrat ala Hobbes, dapat dilakukan dengan melihat perbedaan teknis dan keterkaitan hubungan antara signifikansi dan denotasi kata. Signifikansi tertanam dalam seluruh jaringan tanda-tanda alami yang membentuk wacana mental, kepercayaan, dan pemahaman. Signifikansi, kepercayaan, dan pemahaman tidak tunduk pada kontrol kesukarelaan yang langsung, oleh karenanya, tidak dapat dengan sengaja dipaksakan oleh hukum. Sedangkan denotasi adalah hubungan langsung antara kata dan objek. Artinya, apa yang dinyatakan oleh suatu kata, dapat ditentukan dengan sengaja, oleh karenanya, diberlakukan oleh hukum. Dalam bahasa yang sederhana, kombinasi halus antara hukum positif dan hukum kodrat ala Hobbes dapat dibahasakan sebagai berikut, “hukum positif tidak ditentukan oleh hukum kodrat, karena selalu ada ruang kebebasan yang cukup besar dalam tindakan untuk memaksakan hukum positif. Namun demikan, hukum kodrat sejatinya memberikan kerangka dan pembatasan berbagai kemungkinan berlakunya hukum positif.” Lebih lanjut Hobbes mengatakan bahwa konsepsi seseorang mengenai suatu hukum positif, dapat berbeda dengan konsep seseorang lainnya, karena hal ini ditentukan oleh hasrat alami (kodrat) masing-masing individu.

Sebagai contoh, misalnya, Hobbes sering menegaskan bahwa semua hukum memerlukan interpretasi. Salah satu cara penting untuk menafsirkan hukum atau kata adalah dengan mempertimbangkan objek apa yang disebutkan. Kata atau hukum yang berlaku bagi satu individu tergantung pada proses alami dan adat-istiadat, yang tidak dapat secara langsung dikendalikan oleh ketentuan yang disengaja (hukum positif). Wacana mental pribadi individu berada di luar jangkauan langsung dari kekuasaan yang berdaulat, tetapi objek dan tindakan masyarakat dapat ditentukan oleh penguasa melalui pemberlakuan secara paksa suatu hukum positif. Contoh konkrit lainnya, misalnya, pencurian dan perzinahan pada dasarnya dilarang dalam konsep hukum alam. Namun demikian, dalam tataran kemasyarakatan, apa yang dimaksud pencurian dan perzinahan, ini ditentukan oleh hukum positif. Dari sini terlihat bahwa hukum ala Hobbes merupakan bentuk perpaduan halus antara hukum positif dan hukum kodrat, keduanya saling berdiri sendiri, tetapi tidak bisa dilepaskan satu sama lainnya dalam konteks keberlakuannya. Terjadi saling tumpang tindih/overlapping di antara keduanya.

Comments

Popular posts from this blog

Upgrade Dell Inspiron 14 3458 Core i3-5005u (Broadwell)

Review Dell Inspiron 14 3458 Core i3-5005u (Broadwell)

Illegal Logging: Sebab, Akibat, dan Penanggulangannya