Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K): Karpet Merah Investasi yang Meminggirkan Masyarakat Pesisir

Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah lautan yang lebih luas dari wilayah daratan. Dikutip dari situs Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Indonesia memiliki 17.499 pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.[1] Total luas wilayah Indonesia adalah 7,81 juta km2, yang terdiri dari 2,1 juta km2 daratan, 3,25 juta km2 lautan, dan 2,55 km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).[2] Dengan luas wilayah tersebut, Indonesia memiliki potensi sumber daya yang sangat besar.

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No. 27/2007) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 (UU No. 1/2014) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.[3] Wilayah pesisir Indonesia tersebar di garis pantai sepanjang 81.000 km dan memiliki peran strategis dengan berbagai potensi sumber daya dan jasa lingkungan, seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan rumput laut, yang di dalamnya terdapat sumber daya hayati, sumber daya non-hayati, dan plasma nutfah.[4]

Dengan berbagai potensinya, maka wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus dikelola dengan tepat, mengingat bahwa potensi ini dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Perencanaan dan pengelolaan secara berkelanjutan harus menjadi poin penting yang harus dilakukan oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya. Fungsi perencanaan dan pengelolaan ini tidak hanya dalam rangka optimalisasi potensi ekonominya, tetapi juga dalam upaya untuk menjaga kelestarian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta sekaligus harus memperhatikan dampak sosial dan ekonomi masyarakat pesisir, terutama kehidupan nelayah tradisional yang sudah sejak lama memiliki interaksi kuat dengan wilayah pesisir yang menjadi sandaran penghidupannya.[5] Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan secara terpadu, bertahap, dan terprogram dilakukan untuk mewujudkan ekonomi yang berkelanjutan sekaligus kemakmuran masyarakat.[6]

Dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, UU No. 27/2007 jo. UU No. 1/2014 telah mengatur bahwa pemerintah daerah wajib menyusun Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pasal 16 ayat (1) UU No. 1/2014 mengatur bahwa pemanfaatan ruang dari sebagian perairan pesisir dan pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki izin lokasi dimana izin lokasi tersebut diberikan berdasarkan RZWP3K yang telah ditetapkan.[7] Izin lokasi ini menjadi dasar pemberian izin pengelolaan.[8]

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah penyusunan RZWP3K sudah sesuai dengan tujuan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang mencakup tiga tujuan, yaitu otimalisasi potensi ekonomi, menjaga kelestarian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta sekaligus harus memperhatikan dampak sosial dan ekonomi masyarakat pesisir? Hal ini mengingat bahwa saat ini, permasalahan penataan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sudah sangat komplek, dan hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang signifikan. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menyatakan bahwa kegiatan ekonomi melalui pembangunan di wilayah pesisir cenderung terjadi dengan sangat cepat dalam berbagai bentuk, yaitu: reklamasi pesisir, pertambangan, dan pariwisata.[9] Bahkan, dalam empat tahun terakhir, para pelaku usaha juga telah banyak mengubah peruntukkan wilayah pesisir untuk perkebunan kelapa sawit.[10] Situasi ini tak pelak menunjukkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diprioritaskan hanya pada aspek ekonominya saja, tetapi melupakan aspek kelestarian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan bahkan juga meminggirkan masyarakat pesisir. Makalah ini ingin mencoba memotret mengenai bagaimana RZWP3K ini justru menjadi instrumen untuk memberikan karpet merah bagi investasi yang meminggirkan masyarakat pesisir.

Artikel selengkapnya dapat diunduh disini.

 

Referensi 

[1] Maritim Indonesia, Kemewahan Yang Luar Biasa, (http://www2.kkp.go.id/artikel/2233-maritim-indonesia-kemewahan-yang-luar-biasa). Diakses pada 22 April 2020.

[2] Ibid.

[3] Indonesia (1), Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal 1 angka 2.

[4] Muhammad Fauzi, et.all, Studi Poternsi Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Riau dalam mengantisipasi Kegiatan Penambangan Pasir di Laut, Universitas Riau, 2004, diakses dari (https://www.researchgate.net/publication/315671683_Studi_Potensi_Sumberdaya_Pesisir_dan_Pulau-pulau_Kecil_di_Kepulauan_Riau_dalam_mengantisipasi_Kegiatan_Penambangan_Pasir_Laut/link/58da6c9245851578dfb7b6f7/download). Diakses pada 22 April 2020.

[5] T. Kusumastanto, Pentingnya Pengelolaan Wilayah Pesisir (http://repository.ut.ac.id/4165/1/MMPI5104-M1.pdf), Diakses pada 24 April 2020.

[6] Dalila Adiba Yanuar Doman dan Ohiongyi Marino, Kerangka Hukum Peran Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K), Indonesian Center for Environmental Law, Jakarta: tanpa tahun, hlm. 1.

[7] Indonesia (2), Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal 16 ayat (1).

[8] Ibid., Pasal 16 ayat (2).

[9] Kenapa Pembangunan Pesisir Terus Berdampak Negatif? (https://www.mongabay.co.id/2019/01/18/kenapa-pembangunan-pesisir-terus-berdampak-negatif/). Diakses pada 22 April 2020.

[10] Ibid.

Comments