Pada 24 Mei 2016, Koalisi Freedom of Information Network Indonesia atau lebih dikenal sebagai FOINI diundang oleh Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Ditjen PSP) Kementerian Pertanian, sebagai salah satu pembicara dalam Lokakarya bertajuk “Optimalisasi Peran PPID Mendorong Transparansi Publik dalam Mewujudkan Swasembada Pangan.” Dalam lokakarya tersebut, Ditjen PSP meminta FOINI untuk memberikan materi dengan tema “Budaya Transparansi Menuju Tata Kelola Pemerintahan yang Baru.” Dan, FOINI meminta kepada saya untuk menghadiri dan memberikan materi dalam lokakarya tersebut.
Merujuk pada undangan dan jadwal yang diberikan, saya kemudian menyusun materi yang akan saya sampaikan dalam lokakarya tersebut. Saya memulai paparan materi saya dengan melakukan beberapa refleksi atas apa yang sudah dicapai Kementerian Pertanian dan Ditjen PSP. Saat itu, berdasarkan hasil pemeringkatan Komisi Informasi Pusat, Kementerian Pertanian menduduki peringkat ke-enam (skor 87,542) dari seluruh kementerian, yang berarti bahwa Kementerian Pertanian sudah baik dalam mengelola dan melayani permohonan informasi. Kemudian, spesifik kepada Ditjen PSP, berdasarkan pemeringkatan di internal Kementerian Pertanian, Ditjen PSP juga menduduki peringkat ketiga. Dari refleksi capaian ini, saya memandang bahwa Kementerian Pertanian, dan khususnya Ditjen PSP juga sudah baik dalam mengelola dan melayani permohonan informasi.
Kemudian saya beranjak pada materi yang lebih spesifik mengarah pada tematik yang dimintakan kepada saya. Dalam budaya transparansi menuju tata kelola pemerintahan yang baru, saya mengangkat empat sub-tema spesifik, yaitu: sistem informasi, transparansi terarah atau targeted transparency, open data, dan Open Government Partnership (OGP).
Dalam sub-tema sistem informasi, saya merekomendasikan adanya suatu sistem informasi yang terintegrasi di lingkungan Kementerian Pertanian, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Sistem informasi ini mencakup kelembagaan yang integratif, pengelolaan data dari back office hingga front office, terpublikasi untuk umum, dan yang paling penting adalah terdapat fitur untuk pengambilan keputusan secara cepat, baik terkait dengan pelayanan informasi maupun untuk kebijakan sesuai tugas pokok dan fungsi Kementerian Pertanian.
Dalam sub-tema transparansi terarah, saya menyampaikan bahwa pada saat itu, tahun 2016, sudah menapaki generasi kedua dalam keterbukaan informasi, yaitu transparansi terarah. Sebelumnya adalah generasi hak untuk tahu. Dalam generasi pertama, hak untuk tahu, ini terkait dengan pengembangan infrastruktur keterbukaan informasi di badan publik. Namun demikian, kemudian diiringi dengan adanya pelemahan kebijakan keterbukaan informasi, tingginya vexatious request, dan demotivasi badan publik untuk mengelola dan melayani permohonan informasi yang diakibatkan oleh tingginya vexatious request sedangkan pelayanan informasi bukanlah tugas pokok dari masing-masing badan publik. Oleh karenanya, harus mulai beranjak kepada generasi kedua, yaitu transparansi terarah, yang dicirikan atau diarahkan pada waktu, tempat, dan cara yang memungkinkan adanya “aksi dan reaksi” yang nyata dari informasi yang disediakan. Untuk transparansi terarah ini, saya memberikan contoh terkait Form C-1 yang dibuka oleh Komisi Pemilihan Umum, kemudian digunakan untuk pengawalan hasil pemilihan umum sebagaimana dilakukan oleh KawalPemilu.
Dalam sub-tema open data, saya menyampaikan bahwa pengelolaan dan pelayanan informasi harus beranjak dari era konvensional menuju era open data, yang dicirikan dengan publikasi, pengolahan, dan penggunaan data secara berulang. Secara spesifik, dalam open data, beberapa prinsip yang harus dipenuhi adalah: (a) ketersediaan dan akses, data utuh, tidak memerlukan biaya reproduksi yang berlebihan, dapat diunduh di internet, mudah digunakan dan dapat diubah karena berformat terbuka (excel, word, shp, dll); (b) data yang tersedia dapat digunakan, diolah, dan disebarluaskan kembali; (c) partisipasi universal, setiap orang bisa menggunakan, menggunakan kembali, menyebarluaskan kembali, non-diskriminasi (bidang usaha, orang, atau kelompok), batasan non-komersial; dan (d) Interoperability, kemampuan kerjasama antar sistem, set data, organisasi, dll.
Kemudian, untuk menerapkan kebijakan open data, beberapa tahapan yang harus dilakukan adalah: (a) memilih set data yang akan dipublikasikan, diprioritaskan untuk data-data yang dibutuhkan oleh masyarakat; (b) menerapkan open license atau meniadakan ketentuan HAKI pada data yang dipublikasikan tersebut; (c) menyiapkan data utuh dan dalam format terbuka (open format) untuk dipublikasikan. Data yang dipublikasikan harus mudah diunduh secara gratis melalui internet; dan (d) data yang dipublikasikan dapat dengan mudah ditemukan. Oleh karenanya, perlu mengembangkan repositori atau database untuk pengumpulan data.
Kemudian, yang berikutnya adalah sub-tema OGP. Pada bagian ini saya menyampaikan bahwa Indonesia merupakan salah satu Tim Inti OGP di tingkat global. Di tingkat nasional, OGP ini kemudian dikenal dengan Open Government Indonesia (OGI), yang di pimpin secara bersama oleh Bappenas, Kementerian Luar Negeri, dan Kantor Staf Presiden. Ketiga lembaga pemerintah ini kemudian juga berkolaborasi dengan empat organisasi masyarakat sipil, yaitu ICEL, TII, Pattiro, dan Seknas FITRA.
Dalam OGP, pemerintah harus menyusun rencana aksi untuk mendorong keterbukaan informasi, baik yang akan dilaksanakan di pusat maupun di daerah. Dan, saat itu, Kementerian Pertanian belum spesifik masuk dalam rencana aksi OGI. Oleh karena itu, penting Kementerian Pertanian untuk bisa mengusulkan dalam rencana aksi OGI mengenai upaya-upaya yang akan dilakukan Kementerian Pertanian, khususnya Ditjen PSP, dalam melaksanakan keterbukaan informasi melalui pengembangan sistem informasi, transparansi terarah, dan implementasi open data.
Materi selengkapnya dapat diunduh disini.
Comments
Post a Comment