Beberapa waktu lalu dapat kiriman tautan berita dari Om Triono Hadi (FITRA Riau) soal KIPusat yang memutuskan JATAM sebagai pemohon informasi yang tidak sungguh-sungguh dan tidak beritikad baik atau bahasa kerennya vexatious requester (VR). Putusan tersebut juga menempatkan JATAM dalam daftar hitam VR yang membuat mereka tidak bisa mengajukan upaya hukum sengketa informasi di seluruh Komisi Informasi.
Cukup kaget dengan berita tersebut, meski sejak awal digagasnya SK VR (Keputusan Ketua KI Pusat 01/KEP/KIP/V/2018) sudah memprediksi bahwa kasus yang menimpa JATAM ini akan terjadi. Sejak awal saya memang sangat kritis terhadap substansi SK VR tersebut yang belum berhasil mendudukkan dengan benar konsep VR, baik terkait dengan kriteria VR maupun mekanisme pengenaan VR terhadap pemohon informasi. Hal ini kemudian diperparah dengan penerapan SK VR tersebut yang jauh dari kata tepat. Dalam putusan KIP terhadap JATAM, setidaknya yang saya baca dari link berita tersebut, pengenaan VR sepertinya didasarkan karena JATAM tidak memiliki SK KemenkumHAM sebagai dasar pengesahan JATAM sebagai entitas hukum untuk bersengketa di Komisi Informasi. Tentu saja dasar ini tidak tepat dijadikan argumentasi untuk menetapkan JATAM sebagai VR.
Tapi... Saya fikir kasus JATAM ini jadi momentum bagus untuk mereview dan mengatur kembali secara benar mengenai VR ini, khususnya karena KIPusat saat ini tengah berproses untuk merevisi PerKI No. 1 Tahun 2010 (juga PerKI No. 1 Tahun 2013). Konsep dan desain VR harus didudukkan secara benar dalam kedua PerKI tersebut, juga dengan konsep vexatious litigation-nya di Komisi Informasi, sehingga penerapannya bisa dilakukan secara tepat pula.
Jakarta, 10 Juni 2019
Comments
Post a Comment