Positivism of Auguste Comte

Tulisan “Positivism of Auguste Comte” membahas pemikiran Auguste Comte mengenai positivisme (hukum) ala Comte hingga evolusinya menjadi ilmu pengetahuan. Menurut Comte, positivisme (hukum) merupakan perpaduan antara filosofi, sosial dan politik, dan pada akhirnya bermuara pada keagamaan. Aspek filosofi merupakan deskripsi pengetahuan manusia dan masyarakat. Kemudian, sosial dan politik merupakan cara-cara menerapkan teori-teori filosofi yang sudah dikembangkan sebelumnya. Sedangkan, keagamaan, menunjukkan bahwa situasi filosofis, sosial dan politik merupakan manifestasi dari nilai-nilai ketuhanan.

Pemikiran awal Comte terhadap positivisme (hukum) yang merupakan perpaduan antara filosofi, sosial dan ekonomi, serta keagamaan, tidak lepas dari pemikiran Henri de Saint-Simon yang kuat dengan teori sosialnya. Namun demikian, latar belakang pendidikan sainsnya (matematika dan ilmu pasti), serta filsafat politik, pada akhirnya membawa Comte ke arah yang berbeda dengan Saint-Simon. Comte mengkonstruksikan ide-ide filosofis, sosial-politik, dan keagamaan dengan pendekatan sains. Menurut Comte, konstruksi dengan pendekatan sains ini akan memberikan pandangan yang utuh mengenai kondisi sejarah, kondisi saat ini, dan kemungkinan di masa mendatang. Yang mana ketiga kondisi tersebut akan sangat terkait satu sama lainnya. Pendekatan ini tentu saja berseberangan dengan tatanan sosial-politik ketika itu. Meskipun demikian, Comte bersikukuh dengan pendekatan itu, dengan satu tujuan, yaitu tatanan manusia yang beradab dengan peradaban yang tinggi.

Pendekatan sains yang digunakan Comte dalam mengkonstruksi ide-ide filosofis, sosial-politik, dan keagamaan mencakup metode, proses, dan pengamatan empiris yang dilakukan secara ketat dan sistematis. Dari pendekatan sains ini, positivisme (hukum) dilakukan melalui serangkaian metode, proses, dan pengamatan empiris. Untuk itu, Comte menawarkan lima metode, yaitu: (1) menyelidiki hal-hal yang benar-benar dapat diatasi oleh pemikiran manusia; (2) mengarahkan semua penyelidikan untuk memperbaiki kondisi manusia; (3) mencari kepastian dan kesepakatan universal dalam semua hal; (4) mencari tingkat ketelitian yang diizinkan oleh wilayah penyelidikan dan kebutuhan manusia; dan (5) memfokuskan semua upaya pada reorganisasi masyarakat yang konstruktif.

Dari kelima metode tersebut, Comte kemudian membingkai hukum dalam tiga tahap, yaitu: tahap teologis, metafisis, dan positivisme (hukum). Tahap teologis ini merupakan tahap dimana manusia meyakini bahwa apa yang terjadi di dunia ini dikendalikan oleh kekuatan supranatural (Tuhan/Dewa). Kemudian tahap metafisis merupakan tahap dimana manusia mengalami pergeseran pemikiran dengan munculnya konsep peran alam dalam menentukan kehidupan manusia. Dan tahap positivisme (hukum), yaitu tahap dimana segala sesuatu yang terjadi didunia ini dapat ditemukan jawaban ilmiahnya. Dengan demikian, pengetahuan manusia akan menjadi positif (hukum) bermula dari tahap teologis kemudian melewati tahap metafisis hingga berakhir ke tahap positif. Comte juga menegaskan bahwa cabang-cabang pengetahuan yang berbeda menjadi positif dalam urutan tertentu, tergantung dari kompleksitas fenomena yang terjadi dan intervensinya terhadap fenomena tersebut.

Mengingat latar belakang pendidikan sains dan juga ketegasannya dalam metode-metode sains, Comte juga memandang hukum dalam kaitannya dengan sains, sebagaimana sebelumnya, Comte juga telah memperkenalkan gagasan disiplin sosiologi sebagai sebuah sains. Jika menilik pada sejarah perkembangannya, sains bergeser dari rasa preskriptif tentang hukum, yang berasal dari gagasan yuridis tentang alam semesta yang mematuhi perintah dewa, ke pengertian deskriptif yang darinya ilmu-ilmu positif berkembang. Namun demikian, perlu menjadi catatan bahwa, meskipun Comte mengkonstruksi hukum dari pendekatan sains, tetapi Comte juga menolak ketika hukum nantinya akan direduksi menjadi formula matematika, sebagaimana sains pada umumnya. Menurut Comte, setiap sains, termasuk hukum, akan mengembangkan varian epistimologisnya sendiri, yang juga akan menentukan metodenya sendiri.

Dan, sebagai sebuah sains, hukum juga harus dapat memprediksi masa depan, sebagaimana ilmu-ilmu fisika memprediksi masa depan. Hukum yang dapat memprediksi masa depan tentu saja bermanfaat bagi umat manusia, karena memungkinkan mereka menentukan langkah-langkah yang diperlukan guna memastikan pembangunan sosial dan politik yang diinginkan. Hal inilah yang kemudian membuat Comte mengubah sosiologi dari ilmu deskriptif menjasi sains preskriptif, termasuk disini adalah ilmu hukum itu sendiri. Sains preskriptif ini kemudian menjadi jembatan antara filosofis dan sosial politik sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini.

Sebagai sebuah tahapan membangun tatanan manusia yang beradab dengan peradaban tinggi, Comte kemudian menawarkan gagasan reorganisasi masyarakat, yang ditujukan untuk mencapai kemajuan masyarakat dengan tetap menjaga ketertiban di dalam masyarakat itu sendiri. Sayangnya, konsep reorganisasi masyarakat yang ditawarkan Comte dilakukan berdasarkan usulan para ilmuwan, yang tidak memberikan kebebasan berpendapat dari individu-individu di dalam masyarakat. Konsep reorganisasi yang ditawarkan Comte dapat dilihat dari dua sisi: pertama, ini dapat dilihat sebagai sesuatu yang baik, terutama mengingat bahwa formula reorganisasi dilakukan melalui serangkaian penelitian ilmiah oleh para ilmuwan. Kedua, konsep reorganisasi ini potensial menjadi tiran, jika dilakukan oleh penguasa yang sewenang-wenang.

Namun demikian, saya sendiri setuju dengan pemikiran Comte yang melihat hukum sebagai sains. Hukum harus didorong untuk dapat memprediksi masa depan, sehingga hukum juga dapat beradaptasi, baik terhadap situasi di masa depan, maupun terhadap upaya untuk merubah tatanan masa depan sebagaimana dikehendaki oleh seluruh masyarakat. Hukum harus didorong untuk membangun tatanan manusia yang beradab dengan peradaban yang tinggi.

Comments