Naming the Unnamable: Jean-Jacques Rousseau’s General Will

Tulisan “Naming the Unnamable: Jean-Jacques Rousseau’s General Will” membahas pemikiran Rousseau mengenai kehendak rakyat dalam kontrak sosial. Rousseau memandang bahwa hukum positif memiliki dua karakteristik, yaitu: pertama, pembuatnya. Dalam pandangan Rousseau, untuk dapat meraih lebih banyak hal dan kemudian beranjak meninggalkan keadaan alam, manusia harus masuk dalam kontrak sosial, sehingga akan tercipta hukum baru diantara orang-orang yang berkontrak tersebut. Yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa kehendak umum atau kehendak rakyat harus menjadi semangat dalam hukum perdata. Hakim atau pengacara harus dapat melihat kehendak umum tersebut di dalam hukum perdata.

Pemikiran Rousseau tidak dapat dilepaskan dari teori hukum kodrat, sekaligus juga pemikiran Thomas Hobbes, terutama terkait dengan wewenang pembuatan hukum. Dalam konteks demikian, maka apabila pembuat hukum membuat dan menerapkan hukum perdata secara tidak adil dan bertentangan dengan kehendak umum, maka hukum yang diterapkan tersebut menjadi tidak memiliki otoritas hukum. Oleh karenanya, pembuat hukum harus melampaui kepentingan individual mereka sendiri, dalam arti harus merupakan manifestasi dari kehendak umum dari pihak-pihak yang ikut berkontrak dalam kontrak sosial.

Kedua, karekteristik kedua hukum positif menurut Rousseau adalah kewenangan hukum positif untuk mengatur tindakan manusia secara keseluruhan, sehingga tidak akan ditemukan kepentingan pribadi yang dapat mengesampingkan hukum. Semua entitas di dalam masyarakat, termasuk penguasa dan pembuat hukum tunduk dibawah hukum, meskipun dalam kenyataannya, ketaatan hukum bergantung pada masing-masing individu. Rousseau juga menambahkan bahwa meskipun kewenangan dipisahkan dari moralitas, tetapi keinginan dasar masing-masing individu berada di luar jangkauan bahasa yang digunakan dalam hukum positif.

Kesamaan pemikiran Rousseau dengan Thomas Hobbes terletak pada histori peletakan kewenangan hukum yang dilakukan oleh penguasa atau pembuat hukum mentransformasikan dirinya dari hukum alam menuju masyarakat hukum atau hukum positif. Dalam konteks demikian, maka masyarakat akan terjun ke dalam kontrak sosial untuk memenuhi keinginan dasar mereka, yang pada dasarnya keinginan dasar tersebut menyata dalam ego, kehidupannya, dan kehendaknya sendiri. Sehingga ketika terjun ke dalam kontrak sosial, pada dasarnya setiap individu tengah berpartisipasi langsung dalam pembuatan kehendak umum melalui pembuatan hukum. Kehendak umum dan kehendak dasar ini kemudian ditransformasi dalam bahasa atau hukum positif. Dalam bahasa yang sederhana, hukum merupakan rasionalitas dari kehendak dasar dan kehendak umum dari seluruh individu yang ikut terjun dalam kontrak sosial.

Comments