The Forgotten Origin: H.L.A. Hart’s Sense of the Pre-Legal

Tulisan “The Forgotten Origin: H.L.A. Hart’s Sense of the Pre-Legal” membahas pemikiran Herbert Lionel Adolphus Hart mengenai asal-usul hukum positif. Berbeda dengan tradisi pemikiran hukum positif, yang lebih menyandarkan hukum dari sisi intitusi hukum yang berdaulat yang membuatnya, Hart memandang bahwa hukum positif berasal dari faktor eksternal yang lebih tinggi yang terus menerus dapat diidentifikasi hingga pada tingkat absolutnya (aturan pengakuan), yang pada akhirnya aturan pengakuan ini dapat digunakan untuk menguji urgensi adanya suatu aturan dan kelayakan keberlakukannya sebagai sebuah hukum positif.

Hart menguraikan dua jenis aturan, yaitu aturan primer dan aturan sekunder. Aturan utama mengharuskan setiap orang untuk bertindak atau tidak bertindak dengan cara tertentu, dan tentunya, aturan utama ini membebankan tugas/perintah. Aturan sekunder kemudian memberikan kondisi di mana, lembaga atau pejabat tertentu, berwenang untuk memberlakukan, mengadili, mengelola, atau menegakkan aturan primer. Dengan demikian, aturan utama merupakan rujukan dari aturan sekunder, dan aturan sekunder merupakan artikulasi dari aturan primer.

Kemudian, untuk menentukan aturan primer, Hart menawarkan dengan apa yang disebut sebagai aturan pengakuan. Aturan pengakuan ini memberikan kriteria otoritatif untuk mengindentifikasi aturan utama. Aturan pengakuan menyatakan bahwa hukum harus dapat dilacak dari satu aturan primer ke aturan primer lainnya, hingga pada akhirnya bermuara ada aturan pengakuan itu sendiri. Melalui pelacakan ini, kemudian aturan pengakuan dapat mengidentifikasi aturan utama mana yang sah/otoritatif dan mana yang tidak.

Terhadap aturan pengakuan ini, kemudian banyak ahli yang mempertanyakan mengenai apa kiranya aturan pengakuan tersebut. Ronald Dworkin, misalnya, menganggap bahwa aturan pengakuan ini merupakan aturan sosial, karena fenomena atau aturan hukum baru akan ada setelah adanya fakta/aturan sosial. Joseph Raz dan Jules Coleman, menganggap bahwa aturan pengakuan ini merupakan moralitas atau kondisi non-hukum tentang perilaku yang benar. Neil MacCormick menganggap aturan pengakuan ini sebagai moral atau preskripsi. Kemudian, Kent Greenwalt menganggap bahwa aturan pengakuan ini merupakan kebiasan. Selain hal-hal, di atas, aturan pengakuan juga bisa dimaknai dari apa yang didalilkan oleh raja atau pejabat yang berwenang, kodrat alam, atau bahkan hukum tertulis sebagaimana diutarakan John Austin. Sedangkan, menurut Hart sendiri, aturan pengakuan ini lebih cenderung ke konvensi sosial yang dinyatakan secara tertulis (aturan sosial –periode pra legal). Yang menjadi catatan kritis selanjutnya adalah: bagaimana menentukan aturan pengakuan? apakah aturan pengakuan ini hanya ada satu atau lebih dari satu? apakah aturan pengakuan ini diterjemahkan dalam satu atau lebih aturan utama?

Namun demikian, yang bisa dipastikan dari aturan pengakuan ini, dan sudah menjadi semacam “konsensus” para ahli hukum sebelumnya, termasuk Aristoteles, Aquinas, Hobbes, Rousseau, Bentham, Austin, dan Kelsen adalah bahwa aturan pengakuan/otorisasi aturan ini, atau apapun sebutannya, haruslah ada sebelum adanya aturan utama. Sebagaimana disebutkan di awal, bahwa aturan pengakuan ini merupakan alat dan mekanisme uji untuk menguji urgensi adanya suatu aturan utama dan kelayakan keberlakukannya. Aturan pengakuan ini sekaligus juga merupakan mekanisme pengujian apakah pembuat hukum/aturan utama membuat hukum dengan benar atau tidak. Hal ini mengingat bahwa pembuat hukum, ketika membuat hukum, salah satu faktor yang mempengaruhi penulisan hukum tersebut adalah kedekatan. Kedekatan ini bisa ditafsirkan dengan kepentingan, keyakinan, apa yang dirasakan (baik melalui pengalaman sendiri maupun berdasarkan cerita yang dia baca atau dengar dari pihak lain), motivasi, apa yang dikehendaki, apa yang diterima dan dianggap benar oleh pembuat hukum, dll. Kedekatan ini juga dapat berasal dari pengalaman atau pengetahuan pembuat hukum mulai dari periode sebelum adanya hukum maupun setelah adanya hukum.

Hart kemudian melanjutkan, bahwa secara aplikasi, aturan pengakuan ini merupakan pernyataan yang diterima dan dipraktikkan oleh masyarakat, yang kemudian berlanjut menjadi aturan sosial, dan pada akhirnya diartikulasikan ke dalam aturan utama yang mengikat masyarakat oleh pembuat hukum. Kemudian terkait dengan aturan sekunder, Hart menyampaikan bahwa aturan sekunder merupakan artikulasi dari penerapan aturan primer. Secara sederhana dapat dipahami bahwa, aturan pengakuan menjadi dasar bagi aturan utama, dan aturan utama menjadi dasar bagi aturan sekunder untuk menegakkan aturan utama tersebut. Dan yang perlu dicatat adalah bahwa aturan pengakuan ini harus dapat diakses oleh pembuat hukum, baik melalui pengalaman maupun kedekatan pembuat hukum dengan aturan pengakuan tersebut. Dengan demikian, pembuat hukum dapat membuat aturan utama sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam aturan pengakuan.

Menurut hemat saya, apa yang diungkapkan oleh Hart terkait asal-usul hukum ini menjadi lebih jelas dan logis, terutama dari sisi asal-usul hukum, yang dimulai sejak belum adanya hukum (pra legal), kemudian adanya pernyataan/aturan sosial yang diterima dan dipraktikkan di dalam masyarakat, untuk selanjutnya dilembagakan dalam hukum positif. Asal-usul hukum (aturan pengakuan) ini, oleh Hart, juga harus dapat diakses oleh pembuat hukum. Hal ini karena aturan pengakuan ini dapat menjadi mekanisme uji terhadap urgensi adanya suatu aturan, kelayakan keberlakukannya sebagai sebuah hukum positif, sekaligus menguji apakah pembuat hukum sudah membuat hukum sesuai dengan nilai-nilai aturan pengakuan.

Comments