Kebijakan Pembebasan Narapidana Akibat Pandemi Covid-19, Sudahkah Mempertimbangkan Aspek Yuridis, Sosial dan Ekonomi Narapidana dan Masyarakat?
Akhir-akhir ini, pemberitaan Covid-19 juga diisi dengan berita mengenai narapidana yang kembali melakukan tindak kejahatan usai mendapatkan asimilasi dan pembebasan bersyarat akibat Covid-19. Hingga 20 April 2020, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sudah membebaskan sebanyak 38.822 narapidana, dengan rincian 37.883 narapidana umum dan 939 narapidana anak. Pembebasan ini dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Beberapa narapidana yang dibebaskan justru kembali melakukan tindak pidana, pencurian, penjambretan, mabuk dan kekerasan, dan narkotika.
Kebijakan Pembebasan Narapidana Didasarkan Alasan Kemanusiaan
Menengok ke belakang, pembebasan narapidana ini memang sudah menjadi perdebatan ketika kali pertama diwacanakan. Meskipun kala itu, perdebatan lebih kepada narapidana tindak pidana korupsi. Namun demikian, Indonesia bukanlah yang pertama dan satu-satunya yang menerapkan kebijakan membebaskan narapidana di masa pandemi Covid-19 ini. Beberapa negara lainnya telah lebih dulu menerapkan kebijakan senada, seperti Iran, Amerika, Jerman, Kanada, Turki, Myanmar, Kolombia, Chile, dan masih banyak lagi. Penerapan kebijakan ini juga didukung oleh United Nations High Commissioner for Human Rights.
Kebijakan pembebasan narapidana diberlakukan karena narapidana penghuni lapas memiliki resiko yang sangat tinggi untuk tertular Covid-19, yang disebabkan oleh kapasitas penjara yang tidak memadai, kondisi kesehatan dan penyakit yang banyak diderita oleh para narapidana. Studi yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) dan U.S. Department of Justice menyebutkan bahwa penyakit yang banyak diderita narapidana antara lain kanker, darah tinggi/hipertensi, stroke, jantung, diabetes, ginjal, asma, liver, TB, dan hepatitis. Dan, di Indonesia sendiri penyakit paling banyak diderita oleh narapidana adalah TB, hepatitis, dan HIV/AIDS. Penyakit-penyakit tersebut tentu saja meningkatkan resiko kematian jika ditambah dengan infeksi Covid-19.
Permenkumham No. 10/2020 Sebagai Dasar Kebijakan Pembebasan Narapidana di Masa Darurat Kesehatan Akibat Covid-19
Di Indonesia, kebijakan pembebasan narapidana bukanlah kebijakan baru. Sebelumnya, terdapat Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 03 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat (Permenkuham No. 03/2018). Sedangkan, untuk pembebasan narapidana di masa darurat kesehatan akibat Covid-19 ini dilakukan secara khusus merujuk pada Permenkumham No. 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 (Permenkumham No. 10/2020). Salah satu alasan diundangkannya Permenkumham No. 10/2020 tersebut adalah karena lapas merupakan institusi tertutup yang memiliki tingkat hunian tinggi, sehingga rentan terhadap penyebaran dan penularan Covid-19. Dengan demikian, perlu dilakukan langkah cepat sebagai upaya penyelamatan tahanan dan warga binaan melalui pengeluaran dan pembebasan narapidana untuk mencegah dan menanggulangi penyebaran Covid-19.
Berdasarkan Permenkumham No. 10/2020 tersebut, narapidana yang mendapatkan peluang pengeluaran dan pembebasan melalui asimilasi dan hak integrasi adalah narapidana yang melakukan tindak pidana selain tindak pidana terorisme, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, kejahatan transnasional terorganisasi, narkotika dan prekursor narkotika, serta psikotropika. Selain itu, narapidana warga negara asing juga tidak mendapatkan peluang dibebaskan dalam Permenkumham ini. Lebih lanjut, Permenkumham ini mengatur mengenai syarat-syarat asimilasi dan hak integrasi bagi narapidana.
Asimilasi diberikan kepada narapidana dan anak yang berkonflik dengan hukum. Untuk asimilasi narapidana diberikan kepada narapidana yang memenuhi syarat-syarat: (1) berkelakuan baik yang dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu enam bulan terakhir; (2) aktif mengikuti program pembinaan dengan baik; dan (3) telah menjalani satu per dua masa pidana. Sedangkan asimilasi anak yang berkonflik dengan hukum diberikan dengan ketentuan: (1) berkelakuan baik yang dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu tiga bulan terakhir; (2) aktif mengikuti program pembinaan dengan baik; dan (3) telah menjalani masa pidana paling singkat tiga bulan.
Kemudian untuk hak integrasi dilakukan dengan tiga cara, yaitu: pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat. Pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas diberikan kepada narapidana yang telah memenuhi syarat: (1) telah menjalani masa pidana paling singkat dua per tiga, dengan ketentuan dua per tiga masa pidana tersebut paling sedikit sembilan bulan; (2) berkelakukan baik selama menjalani masa pidana paling singkat sembilan bulan terakhir dihitung sebelum tanggal dua per tiga masa pidana; (3) telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat; dan (4) masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana. Sedangkan cuti bersyarat dapat diberikan kepada narapidana yang telah memenuhi syarat: (1) telah menjalani masa pidana paling singkat dua per tiga, dengan ketentuan dua per tiga masa pidana tersebut paling sedikit enam bulan; (2) berkelakukan baik selama menjalani masa pidana paling singkat enam bulan terakhir dihitung sebelum tanggal dua per tiga masa pidana; (3) telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat; dan (4) masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana. Pembebasan bersyarat juga dapat diberikan kepada anak yang sedang menjalani pidana penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang telah memenuhi syarat: (1) telah menjalani masa pidana paling sedikit satu per dua masa pidana; dan (2) berkelakukan baik selama menjalani masa pidana paling singkat tiga bulan terakhir dihitung sebelum tanggal satu per dua masa pidana. Selain itu, ketentuan yang perlu diperhatikan dengan cermat adalah bahwa Permenkumham ini berlaku bagi narapidana yang tanggal dua per tiga masa pidananya dan anak yang tanggal satu per dua masa pidananya sampai dengan tanggal 31 Desember 2020.
Permenkumham No. 10/2020 Mengabaikan Aspek Yuridis, Sosial dan Ekonomi
Dengan adanya Permenkumham No. 10/2020 tersebut, pelaksanaan pengeluaran dan pembebasan narapidana untuk mencegah dan menanggulangi penyebaran Covid-19 telah memperoleh dasar hukumnya. Hal ini karena Permenkumham tersebut telah mengatur secara lengkap mengenai syarat-syarat narapidana dapat dibebaskan dan prosedur pembebasan. Namun demikian, Permenkumham ini ternyata masih memiliki dampak negatif bagi keamanan masyarakat.
Jika kita kembali kepada Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 12/2011), maka Permenkumham No. 10/2020 juga merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan, sehingga pembentukannya harus berdasarkan asas-asas sebagaimana diatur dalam UU No. 12/2011. Salah satu asas yang harus dipertimbangkan adalah "asas dapat dilaksanakan." Asas ini mengatur bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Asas tersebut menuntut penyusun peraturan perundang-undangan untuk dapat memperkirakan tingkat efektivitasnya di dalam masyarakat.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham, Nugroho, pada tanggal 10 April 2020, meminta masyarakat tidak perlu cemas dengan telah dirumahkannya sebanyak 35 ribu lebih narapidana akibat pandemi Covid-19, karena narapidana yang dibebaskan tetap berada dalam pantauan lapas, balai pemasyarakatan (bapas), dan aparat penegak hukum lain. Selain itu, narapidana yang dibebaskan telah melalui tahap penilaian perilaku dan dinilai sudah berkelakuan baik, mengikuti program pembinaan dan tidak melakukan tindakan pelanggaran disiplin dalam lapas sebelum mereka kembali ke masyarakat. Petugas lapas juga telah memberikan edukasi, menyampaikan aturan-aturan kedisiplinan yang tidak boleh dilanggar selama menjalankan asimilasi dan integrasi serta sanksi yang akan mereka peroleh apabila melanggar, seperti membuat keresahan di masyarakat apalagi mengulangi melakukan tindak pidana. Jika kembali membuat keresahan di masyarakat, maka integrasi dan asimilasi akan dicabut, harus kembali ke dalam lapas, dan menjalankan sisa pidana ditambah pidana yang baru, setelah putusan hakim.
Namun demikian, hal-hal yang disebutkan di atas bersifat internal, karena semuanya itu dilakukan di dalam lapas, di mana perilaku narapidana masih dalam jangkauan pengawasan lapas. Ketika narapidana dibebaskan kembali ke tengah masyarakat, maka lapas tidak lagi memiliki kendali penuh atas narapidana yang telah dibebaskan tersebut, terutama jika mengingat masih belum optimalnya pamantauan dan pengawasan terhadap perilaku narapidana yang telah dibebaskan selama ini.
Terdapat tiga aspek yang diabaikan Permenkumham No. 10/2020 tersebut, yaitu aspek yuridis, sosial, dan ekonomi. Dari aspek yuridis, masyarakat berhak memperoleh perlindungan ketertiban dan keamanan. Sesuai dengan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, masyarakat berhak mendapat perlindungan diri pribadi, keluarga dan harta benda. Kemudian, sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia berbunyi bahwa setiap orang berhak tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Dalam konteks ini, negara melalui aparat penegak hukumnya (polisi, hakim, jaksa, dan termasuk lapas), harus hadir melindungi masyarakat. Dengan demikian, sebagai konsekuensi dari pembebasan narapidana dengan alasan pandemi Covid-19 ini, pemerintah harus lebih meningkatkan jaminan perlindungan ketertiban dan keamanan masyarakat. Namun demikian, perlu disadari mengenai rasio jumlah anggota polisi terhadap jumlah masyarakat masih tergolong rendah, sehingga jaminan perlindungan dan keamanan dan ketenteraman masyarakat dapat diperkirakan tidak bisa optimal.
Kemudian dari aspek sosial ekonomi, Permenkumham No. 10/2020 belum memperhatikan kondisi sosial ekonomi ketika narapidana dibebaskan dan kembali ke masyarakat karena pandemi covid-19. Kondisi sosial dan ekonomi akan menjadi faktor potensial bagi narapidana yang dibebaskan untuk mengulangi kejahatannya. Faktor sosial ekonomi ini meliputi pekerjaan dan penghasilan, situasi ekonomi narapidana dan keluarganya, termasuk apakah narapidana akan menerima bantuan sosial dari pemerintah selama periode pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ini.
Perlu diperhatikan juga bahwa pidana penjara merupakan upaya memberikan efek jera, sekaligus juga untuk menjauhkan terpidana dari kemungkinan mengulangi perbuatan pidana. Namun demikian, seringkali, narapidana yang telah selesai menjalani hukuman penjara (baik dalam waktu pendek maupun panjang), belum tentu merasa jera untuk mengulangi tindak pidannya kembali, terlebih lagi narapidana yang tidak selesai menjalani masa hukumannya. Karena tidak merasa jera, kemudian ditambah dengan berbagai faktor eksternal, seperti pandemi Covid-19 ini, narapidana berpotensi besar untuk mengulangi tindak pidananya. Hal ini tentu saja menimbulkan ancaman gangguan terhadap ketertiban dan keamanan, termasuk ancaman langsung terhadap harta benda dan keselamatan jiwa masyarakat.
Covid-19 dan Kebijakan Penanganannya Berpotensi Meningkatkan Angka Kriminalitas
Pemerintah harus menyadari bahwa penyebaran dan penularan Covid-19 ini berdampak ke seluruh lini kehidupan masyarakat. Dan, yang paling dirasakan saat ini adalah dampak terhadap perekonomian masyarakat, dimana penerapan social distancing, physical distancing, work from home, dan yang terbaru adalah kebijakan PSBB telah berdampak pada sumber pendapatan masyarakat. Banyak masyarakat kehilangan pekerjaan dan mata pencahariannya, kehilangan sebagian penghasilannya akibat pemotongan gaji, dan sebagainya. Dalam situasi tersebut, tak pelak memunculkan atau bahkan meningkatkan angka kriminalitas di masyarakat. Belum lagi kemudian ditambah dengan kebijakan pengeluaran dan pembebasan narapidana, yang sampai sejauh ini, setidaknya sudah dilaporkan dan ditangkap 13 narapidana yang dibebaskan dengan alasan Covid-19, justru kembali melakukan tindak pidananya. Angka kejahatan yang dilakukan oleh mantan narapidana yang sudah dibebaskan dengan alasan Covid-19 ini berpotensi meningkat, seiring dengan masih terus meningkatnya angka penyebaran dan penularan Covid-19 di Indonesia, yang juga diikuti pemberlakukan PSBB di berbagai wilayah di Indonesia. Divhumas Polri menyatakan bahwa angka kriminalitas meningkat hingga 11,8% setelah diberlakukannya kebijakan PSBB oleh pemerintah.
Kriminalitas yang Dilakukan Mantan Narapidana Menunjukkan Lemahnya Implementasi Permenkumham No. 10/2020
Potensi meningkatnya angka kriminalitas yang dilakukan oleh mantan narapidana yang dibebaskan dengan alasan Covid-19 ini menunjukkan lemahnya implementasi dari Permenkumham No. 10/2020 tersebut. Pertama, dari aspek administrasi pengusulan pembebasan yang rentan terjadinya praktek pungli. Praktek pungli ini sudah diberitakan media, meskipun berdasarkan investigasi, Kemenkumham menyatakan belum menemukan praktek pungli seperti yang diberitakan. Namun demikian, potensi pungli ini tetap ada, dan jika benar, maka akan meningkatkan potensi narapidana yang dibebaskan untuk melakukan tindak kejahatan dalam upaya mengembalikan uang yang telah dibayarkan untuk kebebasannya. Kedua, dari aspek ekonomi, pembebasan narapidana tidak secara cermat dan hati-hati mempertimbangkan situasi sosial ekonomi masyarakat akibat Covid-19, yang pasti juga akan berdampak kepada narapidana yang dibebaskan. Dalam hal ini, pemerintah seperti tidak menyadari bahwa narapidana yang dibebaskan tentunya tidak memiliki pekerjaan, yang kemudian dihadapkan dengan berbagai kebutuhan hidup. Dengan situasi tersebut, mengulangi tindak kejahatan menjadi pilihan yang realistis bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Aspek ini juga erat kaitannya dengan aspek pertama. Ketiga, dari aspek pembinaan narapidana, Kemenkumham, khususnya Direktur Jenderal Pemasyarakatan masih belum berhasil membina narapidana. Keempat, pembebasan narapidana tidak disertai dengan mekanisme pemantauan dan pengawasan yang jelas dan ketat dari Ditjen Pemasyarakatan, LPKA, Lapas, dan Bapas. Hal ini terlihat dari ketentuan di dalam Permenkumham No. 10/2020 yang hanya menyebutkan bahwa Kepala Bapas bertanggungjawab terhadap pembimbingan dan pengawasan terhadap narapidana yang dibebaskan, tetapi tidak menyebutkan secara rinci mengenai bagaimana pembimbingan dan pengawasan dilakukan, terutama pasca pembebasan narapidana.
Upaya yang Bisa Dilakukan
Untuk itu, yang perlu dilakukan saat ini adalah, pertama, dalam pembebasan narapidana, pertimbangannya tidak hanya bertumpu pada syarat-syarat pembebasan sebagaimana disebutkan dalam Permenkumham No. 10/2020, tetapi harus pula memperhatikan situasi sosial masyarakat dimana narapidana tersebut akan kembali pulang, juga memperhatikan situasi ekonomi narapidana dan keluarganya, termasuk kesediaan lapangan kerja bagi narapidana yang dikeluarkan. Atau dalam tataran lebih teknis, selain apa yang sudah diatur dalam Permenkumham No. 10/2020, narapidana yang dibebaskan harus ditambahkan syarat-syarat seperti, memiliki riwayat sakit berkepanjangan, berusia di atas 70 tahun, dan tidak memiliki riwayat sebagai residivis. Kedua, Kemenkumham menetapkan sanksi tegas bagi LPKA dan Lapas yang melakukan pungli. Ketiga,LPKA, Lapas, dan Bapas mengembangkan mekanisme pemantauan dan pengawasan bagi narapidana yang dibebaskan. Misalnya, melalui kewajiban lapor bagi narapidana untuk jangka waktu tertentu dan membuka mekanisme pengaduan masyarakat. Hal ini sebagaimana juga telah disampaikan oleh Menkumham, bahwa narapidana yang sudah dibebaskan tetap harus dibina dan diawasi secara berkala. Keempat, sebagaimana juga sudah disampaikan oleh Menkumham, bahwa LPKA, Lapas, dan Bapas harus meningkatkan koordinasi dengan pihak kepolisian terkait kebijakan asimilasi dan integrasi napi dalam rangka pandemi Covid-19, agar para napi yang mengulangi perbuatannya dapat segera dikembalikan ke lapas usai menjalani BAP di kepolisian untuk langsung menjalani pidananya. Kelima, kedepan, Kemenkumham harus mengembangkan mekanisme yang lebih jelas dan tegas terkait dengan pembimbingan dan pengawasan terhadap narapidana yang sudah dibebaskan. Hal ini karena, jika memperhatikan Permenkuham No. 03/2018 dan Permenkumham No. 10/2020, pembimbingan dan pengawasan baru sebatas ketika narapidana masih di dalam lapas, tetapi ketika narapidana sudah dibebaskan, tidak ada mekanisme yang jelas untuk pembimbingan dan pengawasannya.
Kemudian, untuk masyarakat, harus meningkatkan kewaspadaannya dan segera melaporkan ke aparat yang berwenang manakala menemukan terjadinya tindak pidana. Kewaspadaan masyarakat ini perlu terus-menerus ditingkatkan mengingat bahwa pandemi Covid-19 ini membawa dampak serius terhadap perekonomian masyarakat, sehingga berpotensi memunculkan dan meningkatkan angka kriminalitas di masyarakat, baik yang dilakukan oleh mantan narapidana maupun masyarakat lainnya.
Penulis:
Dessy Eko Prayitno dan Subagio Aridarmo
Artikel ini juga dimuat di Majalah GATRA No. 27 Tahun XXVI 30 April – 6 Mei 2020 dengan judul: “Kebijakan Pembebasan Narapidana dan Pengabaian Atas Aspek Yuridis, Sosial, dan Ekonomi.”
Comments
Post a Comment