Menakar Efektifitas Perpres No. 13 Tahun 2018 Untuk Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi
Pada 1
Maret 2018, Presiden Joko Widodo telah menetapkan dan mengundangkan
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip
Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme (Perpres Beneficial Ownership). Secara
normatif, pengundangan Perpres ini dilakukan dengan beberapa
pertimbangan, yaitu: tindak pidana pencucian uang dan terorisme
berpotensi mengancam stabilitas dan interitas sistem keuangan dan
perekonomian negara, prinsip mengenali pemilik manfaat dari korporasi
atau yang biasa disebut beneficial ownership merupakan standar
internasional dalam mencegah tindak pidana pencucian uang dan
terorisme, korporasi merupakan salah satu media yang digunakan dalam
kejahatan pencucian uang dan pendanaan terorisme dimana Indonesia
sendiri belum memiliki pengaturannya.[1] Perpres Beneficial
Ownership ini mengatur penerapan prinsip mengenali pemilik
manfaat dari korporasi, yang mencakup pengaturan mengenai ruang
lingkup dan kriteria korporasi, kewajiban dan mekanisme menentukan
pemilik manfaat dari korporasi, pengawasan, kerjasama pertukaran
informasi antar para pihak dalam penerapan prinsip mengenali pemilik
manfaat dari korporasi.
Perpres
ini kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
dengan menerbitkan dua Peraturan Menteri, yaitu Peraturan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Nomor 15 Tahun 2019
tentang Tata Cara Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik
Manfaat dari Korporasi dan Permenkumham Nomor 21 Tahun 2019 tentang
Tata Cara Pengawasan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari
Korporasi. Selain itu, Perpres tersebut juga ditindaklanjuti dengan
penandatanganan nota kesepahaman oleh enam kementerian dalam rangka
penguatan dan pemanfaatan data beneficial ownership, yang
dilakukan melalui penguatan, sinkronisasi, dan pemanfaatan data
beneficial ownership, peningkatan kapasitas sumber daya
manusia melalui pertukaran pengetahuan dan pengalaman, dan
pelaksanaan kegiatan pendukung lainnya.[2]
Kemudian
dari sisi implementasi, meski terdapat kemajuan dalam pelaksanaan
Perpres Beneficial Ownership, seperti meningkatnya penggunaan
data beneficial ownership dalam rangka penegakan hukum dan
juga penggunaannya untuk kepentingan investasi. Namun demikian, masih
terdapat catatan kritis terhadap penerapan Perpres Beneficial
Ownership tersebut, antara lain: pertama, penerapan beneficial
ownership harus diatur pada tingkatan undang-undang, hal ini
terutama terkait dengan pengenaan sanksi pidana bagi korporasi yang
tidak patuh dalam melaporkan beneficial ownership-nya. Kedua,
tingkat kepatuhan pelaporan beneficial ownership juga masih
tergolong rendah. Data Ditjen Administrasi Hukum Umum Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia, hingga 31 Agustus 2021, dari 2.306.908
korporasi, baru 515.783 atau 22,36% korporasi yang telah melaporkan
beneficial ownership-nya.[3] Ketiga, keterbukaan data
beneficial ownership untuk publik masih bersifat terbatas.[4]
Berdasarkan
uraian di atas, kajian ini menganalisis tiga rumusan permasalahan,
yaitu apakah materi muatan Perpres Beneficial Ownership dapat
dilaksanakan dengan optimal? Kemudian apakah Perpres Beneficial
Ownership telah sejalan dengan semangat keterbukaan informasi
publik? Dan, terakhir, apakah muatan Perpres Beneficial Ownership
telah menjawab berbagai persoalan industri ekstraktif?
Selengkapnya,
dapat diunduh melalui tautan berikut ini.
Comments
Post a Comment