Rencana Tata [R]Uang Jakarta


Pendahuluan

Dinamika dan permasalahan penggunaan tanah di wilayah perkotaan sangat beragam. Salah satu permasalahan terbesar adalah perencanaan dan penggunaan tanah yang lebih menitikberatkan pada pertimbangan ekonomi dibandingkan pertimbangan ekologis, atau kita bisa menyebutnya sebagai "Rencana Tata [R]uang."[1] DKI Jakarta merupakan salah satu kota yang dianggap gagal dalam merencanakan dan melaksanakan tata ruangnya akibat perencanaan dan penggunaan tanah yang lebih menitikberatkan pada pertimbangan ekonomi dibandingkan ekologis, sehingga menuai banjir rutin setiap musim penghujan tiba.[2]

Dalam konteks perencanaan dan penggunaan tanah yang pro-ekonomi dibandingkan ekologi, ditunjukkan dalam beberapa permasalahan, yaitu: pertama, inkonsistensi pemerintah DKI Jakarta terhadap rencana tata ruang yang sudah ditetapkan. Saat ini, 80% tata ruang di Jakarta menyalahi peruntukkan, dimana kawasan yang diperuntukkan untuk Ruang Terbuka Hijau dan kawasan untuk resapan air, seperti di Kemang, Kelapa Gading, dan Pantai Indah Kapuk, kemudian diubah peruntukkannya untuk kawasan perumahan dan kawasan komersial.[3]

Kedua, perubahan fungsi kawasan, dimana Hutan Angke Kapuk yang sejak 10 Juni 1977 ditetapkan sebagai hutan lindung, hutan wisata dan pembibitan, yang secara tidak langsung juga berfungsi untuk mencegah banjir, kemudian pada 1982 diubah peruntukannya menjadi kawasan pemukiman, kondominium, pusat bisnis, rekreasi, dan lapangan golf.[4] Perubahan fungsi kawasan ini kemudian berdampak pada pendapatan daerah dari Rp. 2.000,-/ha/tahun menjadi Rp. 2.000.000,-/ha/tahun. Namun demikian, peningkatan pendapatan ini harus dibayar dengan adanya banjir Jakarta yang juga merendam Jalan Prof. Sedyatmo.[5]

Ketiga, buruknya tata ruang Jakarta ini tidak hanya berdampak pada kehidupan masyarakat di kota Jakarta, tetapi juga melebar pada wilayah-wilayah sekitarnya. Salah satunya adalah kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur), yang merupakan kawasan resapan/tangkapan air (catchment area).[6]Mengingat semakin terbatasnya lahan permukiman di Jakarta, Bopunjur kemudian menjadi sasaran perkembangan untuk pemukiman, yang dimulai dari pembelian dan alih fungsi lahan pertanian di Bopunjur untuk pembangunan vila mewah yang dimiliki oleh orang-orang Jakarta.[7]

Alih fungsi Hutan Angke Kapuk dan kawasan Bopunjur yang merupakan kawasan resapan air yang lebih menitikberatkan pada pertimbangan ekonomi dibanding ekologis ini kemudian berdampak pada terjadinya banjir rutin di Jakarta setiap musim penghujan datang. Dalam konteks saat ini, banjir dan buruknya penataan ruang, serta penggunaan tanah di Jakarta juga semakin diperparah dengan adanya proyek infrastruktur pemerintah pusat. Ketidaktaatan pada rencana tata ruang dan alih fungsi penggunaan tanah memang tidak lepas dari kepadatan penduduk, ketersediaan dan kepemilikan lahan, jarak ke pusat kota/bisnis, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, serta pengetahuan masyarakat terhadap rencana tata ruang.[8]

Bagaimana solusinya?

Dalam konteks kasus di atas, perencanaan ruang Jakarta seharusnya mengacu pada tiga aspek utama penataan ruang, yaitu: perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU No. 26 Tahun 2007). Tiga aspek utama penataan ruang tersebut (perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian) merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yang diharapkan:[9] (a) mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna, baik bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat maupun mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan; (b) tidak menyebabkan terjadinya pemborosan pemanfaatan ruang; dan (c) tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang. Ketiga hal ini dicapai melalui perencanaan dan pelaksanaan tata ruang berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang juga didukung oleh teknologi yang tepat.[10]

Terhadap rencana tata ruang, pemanfaatan, dan pengendaliannya, pemerintah DKI harus secara konsisten melaksanakan rencana tata ruang tersebut. Saat ini, rencana tata ruang Jakarta yang masih berlaku adalah Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2010-2030.[11] Hal ini berlaku juga bagi pemerintah daerah Bopunjur, juga harus konsisten dalam melaksanakan rencana tata ruang wilayahnya. Selain itu, Pemerintah DKI Jakarta dan pemerintah daerah Bopunjur harus meningkatkan koordinasi dan kerjasama dalam pengelolaan ruangnya secara integratif, sehingga perencanaan pengelolaan, pemanfaatan, dan pengendaliannya integratif antara DKI Jakarta dan Bopunjur sebagai wilayah penyangga DKI Jakarta. Integrasi atau keterpaduan penataan ruang antara pemerintah DKI Jakarta dan pemerintah daerah Bopunjur ini juga selaras dengan prinsip penataan ruang sebagaimana diatur di dalam UU No. 26 Tahun 2007, dimana integrasi atau keterpaduaannya meliputi lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan.[12] Selain itu, dalam merencanakan dan melaksanakan tata ruang, Pemerintah DKI Jakarta dan pemerintah daerah Bopunjur harus secara konsisten melaksanakan prinsip-prinsip penataan ruang lainnya sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007, yaitu: keserasian, keselarasan, keseimbangan (antara kepentingan sosial ekonomi dan juga ekologi), keberlanjutan (sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan), keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, keterbukaan, kebersamaa dan kemitraan (melibatkan seluruh elemen masyarakat), perlindungan kepentingan umum, kepastian hukum dan keadilan, dan akuntabilitas.[13]

Selain itu, di dalam perencanaan dan pelaksanaan rencana tata ruang, harus dilakukan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Hal ini sejalan dengan prinsip penataan ruang sebagaimana diatur di dalam UU No. 26 Tahun 2007.[14] Dalam konteks tersebut, Pemerintah DKI Jakarta dan Bopunjur tidak hanya melibatkan pengusaha saja dalam penataan ruang, pemanfaatan, dan pengendaliannya. Tetapi juga melibatkan seluruh elemen masyarakat, baik yang terdampak langsung maupun tidak langsung. Harus menjadi pemikiran dan tujuan bersama, bahwa perencanaan ruang dan pemanfaatannya tidak hanya semata-mata untuk mencapai tujuan ekonomi, tetapi juga kesejahteraan bersama, dan perlindungan lingkungan hidup. Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah, Pemerintah DKI Jakarta dan Bopunjur harus mengalokasikan anggaran berbasis lingkungan hidup untuk perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian penggunaan tanah/ruang, khususnya untuk meningkatkan ketersediaan ruang terbuka hijau demi kepentingan perlindungan lingkungan hidup.

Artikel dapat diunduh melalui tautan berikut ini.

Catatan Kaki

[1] Kompas, Ongkos Ekonomi yang Mesti Dibayar: Hasil terhadap RUTR yang Hanya Pro-Pasar, Harian Kompas, 12 Februari 2007.

[2] ICEL, Kegagalan Konsep Penataan Ruang Jakarta: Banjir Jakarta dan Sekelumit Penyebabnya, (https://icel.or.id/isu/kegagalan-konsep-penataan-ruang-jakarta-banjir-jakarta-dan-sekelumit-penyebabnya/), diakses pada 25 Desember 2020.

[3] Tirto, Lebih dari 80 Persen Tata Ruang di Kota Jakarta Salah, (https://tirto.id/lebih-dari-80-persen-tata-ruang-di-kota-jakarta-salah-bFEg), diakses pada 25 Desember 2020.

[4] Samadikun, Budi Prasetyo, Dampak Pertimbangan Ekonomis Terhadap Tata Ruang Kota Jakarta dan Bopunjur, Jurnal Presipitasi Vol. 2 No. 1 Maret 2007, ISSN 1907-187X, hlm. 35.

[5] Ibid.

[6] Ibid., hlm. 36.

[7] Ibid.

[8] Eko, Trigus dan Sri Rahayu, Perubahan Penggunaan Lahan dan Kesesuaiannya terhadap RDTR di Wilayah Peri-Urban, Studi Kasus: Kecamatan Mlati, Jurnal Pembangunan Wilayah & Kota, Volume 8 (4), Desember 2012, hlm. 334.

[9] Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Penjelasan Umum Angka 5.

[10] Ibid.

[11] Tirto, Lebih dari 80 Persen Tata Ruang di Kota Jakarta Salah, ... Lihat juga Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030.

[12] Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 ... Pasal 2 huruf a dan Penjelasannya.

[13] Ibid., Pasal 2 huruf b – i dan Penjelasannya.

[14] Ibid., Pasal 2 huruf f dan Penjelasannya.

Comments