Disclaimer: Ini adalah tulisan yang saya tulis pada 30 Maret 2020, pada waktu itu sudah saya share ke beberapa grup Whatsapp. Isunya sudah tidak update lagi, karena beberapa kebijakan yang saya sebutkan dalam tulisan ini pada akhirnya dikeluarkan oleh pemerintah. Namun demikian, karena saya baru menemukan kembali tulisan ini, jadi tidak ada salahnya saya upload di blog ini. Selamat membaca!
________________________________________________________________________________________
Sejak ditemukannya dua kasus positif Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020 lalu, dan seiring dengan laju penyebaran Covid-19 yang semakin tinggi, banyak pihak mewacanakan agar pemerintah menetapkan status lockdown. Yang menjadi pertanyaan, apa itu lockdown? Berdasarkan Merriam-Webster, lockdown diartikan sebagai: “an emergency measure or condition in which people are temporarily prevented from entering or leaving a restricted area or building (such as a school) during a threat of danger.” Terjemahan bebasnya kurang lebih adalah: “tindakan darurat atau kondisi dimana untuk sementara waktu, orang-orang dicegah untuk memasuki atau meninggalkan wilayah atau gedung yang ditetapkan sebagai area terlarang.” Dengan demikian, lockdown ini tidak hanya mencakup wilayah yang luas, tetapi juga dapat mencakup hanya satu gedung/bangunan saja.
Dalam konteks Indonesia, lockdown didefinisikan di dalam beberapa pengertian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan Kesehatan). Beberapa pengertian ini memiliki gradasi yang berbeda, termasuk gradasi dalam luasan area, pengambilan keputusan, tanggungjawab, dan tentunya dampak. Beberapa pengertian tersebut antara lain: karantina, isolasi, karantina rumah, karantina rumah sakit, karantina wilayah, dan pembatasan sosial berskala besar.
Pertama, karantina, yaitu: pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, meskipun belum menunjukkan gejala apapun atau sedang berada dalam masa inkubasi, dan/atau pemisahan peti kemas, alat angkut, atau barang apapun yang diduga terkontaminasi dari orang dan/atau barang yang mengandung penyebab penyakit atau sumber bahan kontaminasi lain untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke orang dan/atau barang di sekitarnya. Dalam definisi ini, beberapa unsur yang perlu dicermati dalam konteks karantina adalah: (1) pembatasan kegiatan; (2) pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular, sejak sebelum bisa menularkan; (3) pemisahan peti kemas, alat angkut, dan barang yang diduga terkontaminasi penyakit menular atau bahkan yang menjadi sumber penyakit menular. Dengan demikian, dalam konteks karantina ini, diberlakukan untuk manusia dan/atau barang yang diduga menjadi sumber atau dapat menyebarkan penyakit menular.
Kedua, isolasi, yaitu: pemisahan orang sakit dari orang sehat yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan. Ketiga, karantina rumah, yaitu pembatasan penghuni dalam suatu rumah berserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Keempat, karantina rumah sakit, yaitu pembatasan seseorang dalam rumah sakit yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Kelima, karantina wilayah, yaitu pembatasan penduduk dalam suatu wilayah, termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Karantina wilayah ini mencakup pembatasan keluar masuk orang dan/atau barang antar wilayah, termasuk lintas negara.
Keenam, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), yaitu pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa, untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. PSBB ini paling sedikit meliputi: (1) peliburan sekolah; (2) peliburan tempat kerja; (3) pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau (4) pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Tabel 1. Jenis-Jenis Karantina Kesehatan, Pengawasan, dan Penanggungjawabnya
Jenis Karantina | Pengawasan | Penanggungjawab | Yang Ditanggung | ||
Pejabat Karantina | Kepolisian | Pusat | Daerah | ||
Isolasi | ??? | ??? | ??? | ??? | ??? |
Karantina | ??? | ??? | ??? | ??? | ??? |
Karantina Rumah | √ | - | √ | √ | Kebutuhan hidup dasar (+kebutuhan medis). |
Karantina Wilayah | √ | √ | √ | √ | Kebutuhan hidup dasar (+kebutuhan medis) dan makanan hewan ternak. |
Karantina Rumah Sakit | √ | √ | √ | √ | Kebutuhan hidup dasar (+kebutuhan medis). |
PSBB | Belum ada pengaturannya, karena diperlukan Peraturan Pemerintah (PP) untuk tata cara penetapan dan pencabutan kedaruratan kesehatan masyarakat, kriteria dan pelaksanaan karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit, dan PSBB. |
Tanggungjawab Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UU Kekarantinaan Kesehatan, bahwa kekarantinaan kesehatan merupakan upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Dengan demikian, untuk melaksanakan kekarantinaan kesehatan, maka pemerintah perlu menetapkan kedaruratan kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa. Penyebaran Covid-19 ini seharusnya masuk ketegori luar biasa, karena sesuai dengan Pasal 1 angka 2 UU Kekarantinaan Kesehatan, yang menyebutkan bahwa kedaruratan kesehatan masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara. Covid-19 dan penyebarannya sudah pasti termasuk dalam kondisi kedarurata kesehatan masyarakat. Menurut WHO, Covid-19 sudah menyebar ke lebih dari 185 negara. Sedangkan di Indonesia sendiri, per tanggal 29 Maret 2020, angka terkonfirmasi positif mencapai 1.285 orang dan meninggal 114 orang. Angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia tersebut mencapai 8,87%, tertinggi kedua di dunia setelah Italia, sedangkan rerata dunia adalah 2,13%.
Apabila merujuk pada ketentuan Pasal 10 UU Kekarantinaan Kesehatan, maka status darurat kesehatan masyarakat ditetapkan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini presiden dan jajaran pemerintahannya. Namun demikian, hingga saat ini, presiden belum menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat akibat Covid-19 ini. Keputusan Kepala BNPB No. 9.A Tahun 2020 dan juga keputusan perpanjangannya No. 13.A Tahun 2020 tentang Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia, tentu bukanlah keputusan kedaruratan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 UU Kekarantinaan Kesehatan. Imbas dari belum adanya keputusan mengenai kedaruratan kesehatan masyarakat ini adalah belum bisa dilakukannya kekarantinaan kesehatan.
Jika memang kekarantinaan kesehatan belum bisa dilakukan, kemudian apa dasar hukum bagi beberapa kepala daerah (Solo, Bali, Tegal, Papua, dan Maluku) yang mengambil kebijakan “lockdown” secara mandiri. Kebijakan “lockdown” ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU Penanggulangan Bencana). Dalam konteks UU tersebut, Pasal 51 mengatur bahwa pemerintah dan pemerintah daerah, sesuai dengan kewenangannya, dapat menetapkan status keadaan darurat bencana untuk jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi badan yang diberi tugas untuk menanggulangi bencana. Status darurat bencana ini kemudian diikuti dengan penyelenggaraan tanggap darurat bencana, yang mencakup berbagai kegiatan untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan dari suatu bencana. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain: penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan sarana dan prasarana.
Dalam konteks Covid-19 ini, pemerintah daerah menggunakan Keputusan Kepala BNPB No. 9.A Tahun 2020 dan No. 13.A Tahun 2020 sebagai dasar melakukan “lockdown” di daerahnya masing-masing. Kebijakan “lockdown” yang diambil juga berbeda antar pemerintah daerah. Berikut ini Tabel yang menggambarkan kebijakan lockdown tersebut:
Tabel 2. Kebijakan “Lockdown” Beberapa Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah | Kebijakan Lockdown |
Solo | Meliburkan sekolah selama 14 hari, penundaan gelaran acara yang melibatkan massa dalam jumlah besar, pembatalan car free day, penutupan destinasi wisata. |
Bali | Himbauan kepada masyarakat untuk menetap di rumah masing-masing selama sehari setelah perayaan Hari Raya Nyepi, penutupan akses jalan ke sejumlah kota di Bali. |
Tegal | Karantina total mulai 30 Maret 2020 dengan menutup seluruh perbatasan keluar masuk Kota Tegal selama empat bulan sejak 30 Maret 2020. |
Papua | Menutup akses masuk orang/penumpang melalui jalur luat dan udara. Akses masuk hanya diperbolehkan untuk barang dan bahan makanan. |
Maluku | Menutup jalur penerbangan dan pelayaran. |
DKI Jakarta | Meliburkan sekolah, menetapkan work from home, menghimbau untuk social distancing, dll. |
Mengapa Pemerintah Pusat Belum Menetapkan Kebijakan Karantina Kesehatan atau Lockdown?
Ini merupakan pertanyaan yang sering muncul sejak Covid-19 masuk Indonesia. Secara sederhana, jawabannya akan kembali kepada UU Kekarantinaan Kesehatan, dimana UU tersebut memandatkan PP terkait tata cara penetapan dan pencabutan kedaruratan kesehatan masyarakat, kriteria dan pelaksanaan karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit, dan PSBB. PP ini belum ada, sehingga pemerintah belum memiliki dasar hukum untuk melaksanakan lockdown. Untuk memutuskan lockdown, pemerintah harus terlebih dahulum memutuskan status darurat kesehatan masyarakat.
Ketiadaan dasar hukum tersebut, tentu saja tidak menjadi alasan tunggal bagi pemerintah untuk tidak (atau belum) mengambil opsi lockdown. Beberapa hal yang mungkin menjadi pertimbangan ketika akan memutuskan lockdown pastinya bermuara pada kestabilan ekonomi, kemampuan APBN untuk menopang kebutuhan selama dan pasca lockdown, dst.
Terakhir, semoga vaksin untuk Covid-19 segera ditemukan, sehingga kita dapat beraktifitas normal seperti sedia kala. Aamiin YRA.
Comments
Post a Comment