Problematika Perizinan di Sektor Pertambangan dan Kehutanan - Studi Kasus IUP Tujuh Perusahaan Tambang di Kemukiman Manggamat, Aceh Selatan

Sektor pertambangan adalah salah satu sektor ekonomi yang penting di Indonesia, karena Indonesia memiliki potensi mineral dan energi yang cukup besar. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya kontribusi ekspor sektor pertambangan terhadap total ekspor Indonesia yang rata-rata mencapai 12 sampai 17 persen setiap tahunnya. Perkembangan ekspor hasil pertambangan mengalami peningkatan yang sangat signifikan, terutama pada tahun 2013 sebesar 581.521,9 ribu ton dan sedikit mengalami penurunan di tahun 2014 hingga 2015, yang kemudian naik kembali di tahun 2016 hingga 2018 yang masing-masing mencapai 387.496,1 ribu ton; 409.551,7 ribu ton, dan 469.921,2 ribu ton. Namun demikian, dibalik besarnya kontribusi sektor pertambangan terhadap total ekspor Indonesia, pelaksanaan izin pertambangan di kawasan hutan masih menjadi permasalahan sendiri yang harus diselesaikan.

Pengelolaan dan penanganan perizinan pertambangan sangat kompleks, karena melibatkan lintas sektor. Sebagai contoh, proses izin usaha pertambangan (IUP) di areal penggunaan lain diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), akan tetapi apabila lahan pertambangan yang dimohon tersebut masuk dalam kawasan hutan, maka pemegang IUP harus mengurus Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kehutanan hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung. IPPKH sendiri ditujukan untuk membatasi dan mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan strategis atau kepentingan umum terbatas di luar sektor kehutanan tanpa mengubah status, fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut, serta menghindari terjadinya enclave di kawasan hutan.

Data yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen Planologi KLHK) menyebutkan bahwa kawasan hutan yang digunakan untuk pertambangan di seluruh Indonesia seluas 48,9 juta hektar, dengan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) seluas 0,46 juta hektare atau hanya sekitar 0,9% dari luas areal pertambangan. Sedangkan data ESDM tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah IUP yang masuk kedalam hutan lindung adalah seluas 3,8 juta hektar atau sama dengan 28,20% dari keseluruhan wilayah pertambangan berada didalam kawasan hutan lindung. Lebih lanjut, pada tahun 2017 Forest Watch Indonesia menyatakan indikasi pelanggaran sektor pertambangan terhadap fungsi kawasan dimana izin diberikan di kawasan konservasi dan kawasan hutan lindung tertinggi berada di Provinsi Kalimantan Timur seluas 94,3 ribu hektar, Aceh seluas 30,9 ribu hektar dan Sulawesi Tengah dengan luas 10,1 ribu hektar. Data diatas menunjukkan bahwa peraturan undang-undangan yang ada saat ini masih bersifat sektoral, yang berarti bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan, kewenangan pemberian izin, dan proses perizinan dilakukan oleh masing-masing kementerian sektor. Kondisi-kondisi tersebut pada akhirnya menimbulkan carut marut tata kelola perizinan, mulai dari tumpang tindih izin dan kewenangan, korupsi, konflik penguasaan lahan, dan lain-lain.

Salah satu contoh dari carut marutnya tata kelola perizinan adalah kondisi perizinan pertambangan di Provinsi Aceh, khususnya pertambangan di Kemukiman Manggamat yang masuk di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Di mana dalam rentang 2010-2012, di Kemukiman Manggamat terdapat tujuh izin usaha pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh Gubernur Aceh, yang luasnya mencakup 10,7 ribu hektar atau 54% dari total luas wilayah adat Kemukiman Manggamat. Aktivitas pertambangan ini telah menghilangkan wilayah hutan seluas 1.500 hektar hutan alam. Ironisnya, IUP tujuh perusahaan tambang tersebut kesemuanya tidak memiliki IPPKH, dan tiga di antaranya bahkan tidak memiliki izin prinsip dari Gubernur Aceh.

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, kajian ini akan menguraikan permasalahan dan solusi tumpang tindih perizinan di sektor pertambangan di kawasan hutan, dengan mengambil contoh kasus pertambangan di Kemukiman Manggamat. Beberapa pertanyaan yang hendak dijawab dalam kajian ini adalah: (1) Bagaimana tinjauan hukum perizinan pertambangan di Kemukiman Manggamat?; (2) Apakah pertambangan di Kemukiman Manggamat yang masuk dalam KEL diperbolehkan?; (3) Apakah IUP tujuh perusahaan tambang di Kemukiman Manggamat sah menurut hukum?; dan (4) Apa solusi atas permasalahan IUP tujuh perusahaan tambang di Kemukiman Manggamat?

Tulisan selengkapnya dapat diunduh disini.

Comments

Popular posts from this blog

Upgrade Dell Inspiron 14 3458 Core i3-5005u (Broadwell)

Review Dell Inspiron 14 3458 Core i3-5005u (Broadwell)

Illegal Logging: Sebab, Akibat, dan Penanggulangannya