Kerangka Hukum Keterbukaan Kontrak Migas dan Minerba di Indonesia (Legal Framework of Contract Disclosure of Oil and Gas, Mineral and Coal Sector in Indonesia)
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa seluruh kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia dikuasai oleh negara dan digunakan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Minyak dan gas bumi (migas), serta pertambangan mineral dan batubara (minerba) merupakan beberapa kekayaan alam Indonesia, yang harus dikelola untuk mencapai tujuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Mengingat industri migas dan minerba tergolong sebagai industri ekstraktif yang high risk, high technology, dan high cost, maka pengelolaannya perlu dilakukan melalui kerjasama dengan berbagai pihak yang memiliki modal kapital maupun teknologi yang kompetitif. Kerjasama pengelolaan migas dan minerba ini sebagian besar dilakukan berdasarkan sistem kontrak. Dalam konteks Indonesia, sistem kontrak banyak digunakan untuk kegiatan sektor hulu yang mencakup kegiatan eksplorasi dan eksploitasi/produksi migas dan minerba, sedangkan untuk kegiatan hilir dilaksanakan melalui pemberian izin usaha. Sejak tahun 2009, sebagian sektor hulu pertambangan minerba dilaksanakan melalui sistem perizinan.
Sistem kontrak dalam pengelolaan migas, pertama kali diatur dalam Undang-Undang No. 44 Prp Tahun 1960, yang disebut sebagai perjanjian karya. Sedangkan dalam pengelolaan pertambangan minerba, Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 menyebutnya sebagai kontrak karya, dan di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 disebut sebagai perjanjian karya. Dalam pelaksanaannya, perjanjian atau kontrak karya migas yang dikenal di Indonesia adalah Kontrak Kerja Sama (KKS), yang sebagian besar merupakan kontrak bagi hasil (KBH)/production sharing contract (PSC), baik melalui joint operation body (JOB), gross split, maupun cost recovery. Untuk sektor pertambangan minerba, dikenal sebagai perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B).
Saat ini, tuntutan untuk dibukanya kontrak dalam kegiatan migas dan pertambangan semakin besar. Di tingkat internasional, pada tahun 2007, International Monetary Fund (IMF) telah memulai inisiatif keterbukaan kontrak dengan mengeluarkan panduan mengenai transparansi pendapatan negara. Dalam laporan lain juga menyebutkan bahwa World Bank dan IMF juga bersama-sama mendorong keterbukaan kontrak di sektor industri ekstraktif. Kemudian tahun 2009, Revenue Watch Institute/RWI (sekarang menjadi Natural Resource Governance Institute/NRGI) mempublikasikan kajian bertajuk Contracts Confidential: Ending Secret Deals in the Extractive Industries, yang menelaah mengenai berbagai tantangan dan basis pemikiran mengenai ketertutupan kontrak. Kemudian tahun 2012, inisiatif keterbukaan kontrak didorong melalui inisiatif global mengenai open contracting. Kemudian tahun 2013, keterbukaan kontrak mulai didorong menjadi standar Extractive Industries Transparency Initiative (EITI), meski masih bersifat anjuran (encourage), hingga pada standar EITI tahun 2016. Keterbukaan kontrak kemudian menjadi standar wajib pada standar EITI 2019 bagi Compliant Country mulai tahun 2021. Dan, pada tahun 2020, Responsible Mining Index (RMI) juga telah menempatkan keterbukaan kontrak sebagai salah satu indikator dari kategori Business Conduct dalam indeks RMI tahun 2020.
Di tingkat nasional, keterbukaan kontrak secara hukum sudah diatur dengan tegas dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Sebagai tindak lanjutnya, kelompok masyarakat sipil yang memiliki perhatian pada isu lingkungan hidup dan sumber daya alam kemudian melakukan permintaan informasi terhadap dokumen-dokumen kontrak yang bersifat publik, seperti kontrak migas, pertambangan, dan pengelolaan air minum. Terhadap permintaan informasi berupa dokumen kontrak ini, Komisi Informasi kemudian juga memutuskan bahwa dokumen kontrak merupakan dokumen terbuka dan wajib disediakan kepada publik. Namun demikian, hingga saat ini, badan publik belum melaksanakan putusan Komisi Informasi dengan membuka dan menyediakan dokumen-dokumen kontrak tersebut kepada publik. Kendala dalam eksekusi putusan Komisi Informasi tersebut juga terjadi karena adanya perbedaan tafsir mengenai siapa badan publik yang berwenang untuk membuka kontrak sebagaimana yang diputuskan. Dalam Laporan EITI 2017, pemerintah menyatakan bahwa belum dibukanya kontrak karena pemerintah harus menelaah informasi-informasi di dalam kontrak yang boleh dibuka dan dikecualikan.
Kegamangan pemerintah dalam membuka dokumen kontrak terjadi karena pemerintah ditengarai belum memahami secara utuh mengenai kerangka hukum keterbukaan kontrak di Indonesia, serta adanya keraguan antara memenuhi kepentingan publik atau kepentingan investasi. Untuk itu, kajian ini akan mengelaborasi mengenai tiga hal, yaitu: kerangka hukum keterbukaan kontrak di sektor migas dan minerba, manfaat yang diperoleh dengan membuka kontrak kepada publik, dan rekomendasi perbaikan kebijakan. Melalui kajian ini, diharapkan pemerintah memiliki kerangka hukum yang utuh terkait dengan keterbukaan kontrak di sektor industri ekstraktif, sehingga pemerintah semakin percaya diri untuk secara bertahap membuka kontrak kepada publik, tidak hanya dalam rangka memenuhi mandat EITI, tetapi yang lebih besar adalah mewujudkan pengelolaan kekayaan alam Indonesia sesuai Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.
Artikel selengkapnya dapat diunduh melalui tautan berikut Bahasa Indonesia dan English.
Comments
Post a Comment