Punya Andil Besar dalam Kondisi Force Majeure Akibat Covid 19, Pemerintah Harus Bertanggungjawab!

Dalam sejarahnya, umat manusia mengalami beberapa kali guncangan besar yang merubah tatanan hidupnya, mulai dari berburu menjadi bertani, bertani menjadi pekerja sektor industri, dan pasca industri atau lebih dikenal sebagai abad informasi. Meskipun berbeda konteks dan sejarah dengan guncangan-guncagan besar tersebut, Tulisan ini juga menganggap bahwa Covid-19 juga merupakan guncangan besar lainnya, yang juga merubah tatanan kehidupan manusia di abad ke-21. Bagaimana tidak, Covid-19 telah memperburuk resesi perekonomian dunia. UNIDO mencatat bahwa Covid-19 akan berpengaruh pada meningkatnya kemiskinan, menurunnya PDB, perdagangan, dan investasi. Selain itu, Covid-19 juga menciptakan kenormalan baru dalam tata hubungan sosial, ekonomi, budaya, dan bahkan politik.

Pemerintah Indonesia merespon pandemi Covid-19 dengan mengeluarkan empat paket kebijakan sekaligus sebagai langkah antisipasi penanganan Covid-19, sekaligus sebagai upaya untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan penyelamatan perekonomian negara dari guncangan Covid-19. Empat paket kebijakan tersebut antara lain: PP No. 21 Tahun 2020, Perppu No. 1 Tahun 2020, Keppres No. 11 Tahun 2020, dan Keppres No. 12 Tahun 2020.

Covid-19 dan Paket Kebijakan Penanganannya Bisa Menjadi Alasan Force Majeure?

Dalam perkembangannya, empat paket kebijakan ini kemudian menjadi perdebatan bilamana keempatnya dapat digunakan sebagai alasan terjadinya kondisi force majeure dalam kontrak-kontrak bisnis. Terhadap dinamika tersebut, Menko Polhukam kemudian menjelaskan bahwa empat paket kebijakan tersebut tidak secara otomatis membatalkan pelaksanaan kontrak-kontrak bisnis, tetapi bisa digunakan sebagai pijakan awal melakukan negosiasi ulang pelaksanaan kontrak. Beberapa praktisi dan akademisi juga menyatakan hal senada, meski perdebatannya kemudian mengerucut pada apakah pandemi ini menjadi dasar force majeure atau rebus sic stantibus.

Tulisan ini sendiri masih berpegang bahwa pandemi Covid-19 ini tidak dapat dijadikan alasan terjadinya force majeure, karena beberapa alasan: pertama, jika melihat konsideran menimbang empat paket kebijakan tersebut, utamanya diarahkan untuk optimalisasi penanganan Covid-19. Kedua, pilihan-pilihan terbaik penyelesaian kontrak masih tersedia, salah satunya dengan menyandarkan pada doktrin rebus sic stantibus, untuk dilaksanakannya renegosiasi kontrak atau relaksasi dalam pemenuhan kewajiban kontrak, karena adanya kondisi di luar dugaan maupun kendali dari para pihak berkontrak. Dan ketiga, Tulisan ini memandang bahwa kontrak harus tetap dilaksanakan oleh para pihak, pengakhirannya sebisa mungkin disandarkan klausula dalam kontrak, karena hubungan kontrak bukanlah hubungan moral/status yang bersifat informal.

Tulisan ini tidak akan larut dalam perdebatan mengenai bisa tidaknya empat paket kebijakan Covid-19 ini untuk digunakan sebagai dasar terjadinya force majeure maupun rebus sic stantibus. Tulisan ini akan lebih memfokuskan pada dua hal, yaitu: (1) sumbangsih kesalahan pemerintah, sehingga memicu terjadinya kondisi force majeure ini; dan (2) tanggung jawab pemerintah untuk berkontribusi dalam menyelesaikan polemik force majeure ini.

Pemerintah Memicu Terjadinya Force Majeure!

Sekali lagi, Tulisan ini memandang bahwa empat paket kebijakan Covid-19 tidak dapat serta merta dijadikan alasan terjadinya force majeure. Pun demikian, berbagai pihak yang berkontrak akan berupaya sedemikian rupa untuk bisa membatalkan pemenuhan kewajiban kontrak dengan alasan force majeure.

Bagaimanapun juga, Tulisan ini memandang bahwa sikap abai, lamban, dan tidak cermat pemerintah telah memicu terjadinya kegagalan berbagai pihak dalam menjalankan atau memenuhi kewajibannya terhadap pihak lainnya. Mulai dari pembayaran kredit dan pembiayaan perbankan, pemenuhan layanan barang atau jasa, pemenuhan target capaian kontrak, termasuk juga pada pemutusan hubungan kerja pegawai.

Sikap abai pemerintah dibuktikan dengan tidak mengindahkan laporan peneliti dari Harvard T.H. Chan School of Public Health yang menyatakan bahwa Covid-19 telah masuk ke Indonesia sejak Februari 2020. Laporan ini didasarkan pada negara yang memiliki penerbangan langsung dari dan ke Wuhan, khususnya pada saat penyebaran Covid-19. Kemudian sikap lamban dan tidak cermat pemerintah dibuktikan dengan berlarut-larutnya pemerintah dalam mengambil kebijakan karantina wilayah. Bahkan, pemerintah masih melakukan blunder kebijakan dengan memberikan insentif keuangan dan fiskal untuk menarik wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Indonesia di tengah penyebaran Covid-19 ke berbagai belahan dunia.

Dan praktis, kebijakan karantina wilayah baru dikeluarkan pada 31 Maret 2020, yang tentunya dari sisi waktu dan pertimbangan aspek sosial, budaya, dan demografi penduduk Indonesia, kebijakan karantina wilayah dan paket kebijakan yang menyertainya dianggap sangat terlambat. Terlebih lagi, sejak akhir Maret 2020, APINDO dan KADIN menyatakan bahwa, dalam situasi pandemi Covid-19, pelaku usaha hanya mampu bertahan hingga Juni. Situasi-situasi ini luput menjadi pertimbangan pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang tepat dan cepat.

Sikap abai, lamban, dan tidak cermat pemerintah dalam menetapkan kebijakan penanganan Covid-19 ini tentu saja tidak sesuai dengan hukum sebagaimana yang dikonstruksikan oleh Auguste Comte. Menurut Comte, dalam merumuskan suatu hukum, harus dilakukan melalui pendekatan sains. Hukum yang berbasis sains akan dapat memprediksi masa depan secara lebih tepat dari berbagai pengetahuan masa lalu. Untuk itu, hukum yang berbasis sains harus memiliki arah dan makna, antara lain: fokus pada hal-hal yang benar-benar dapat diatasi/diperbaiki manusia, sekaligus memperbaiki manusia, menemukan kesepakatan universal dalam semua hal, mencari tingkat ketelitian sesuai dengan kebutuhan manusia, dan memfokuskan pada reorganisasi masyarakat yang konstruktif.

Jika melihat kembali kebijakan pemerintah, sepertinya perumusannya tidak dilakukan berdasarkan sains. Belum lagi ketika kita berbicara mengenai inkonsistensi implementasi berbagai kebijakan tersebut di masyarakat. Inkonsistensi pemerintah ini juga, di satu sisi memperburuk penanganan Covid-19, kemudian di sisi lain, menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah ini tak pelak juga akan berpengaruh pada kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Sebagaimana diungkapkan Joseph Raz bahwa kepatuhan masyarakat terhadap hukum sangat bergantung pada lembaga yang mengeluarkan hukum tersebut. Akibatnya, hingga Tulisan ini dibuat pada 11 Juni 2020, kebijakan pemerintah dalam menangani Covid-19 telah “menghasilkan” 35,295 kasus positif dan 2000 diantaranya meninggal dunia.

Dan sekali lagi, dalam skala lebih luas, penanganan Covid-19 yang lamban dan tidak cermat telah memperburuk perekonomian Indonesia yang juga terdampak dari resesi ekonomi global. Yang mana pada gilirannya juga berdampak pada situasi force majeure dalam berbagai sektor. Seandainya sejak awal diketahuinya penyebaran Covid-19, pemerintah mengambil langkah tegas untuk segera melakukan karantina kesehatan dan menutup penerbangan internasional, maka kondisi force majeure bisa dihindari.

Pemerintah Bertanggungjawab Untuk Menyelesaikan Force Majeure Akibat Covid-19!

Dalam filsafat politik, pelaksanaan kewenangan pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Terlebih mengingat bagaimana pemerintah begitu abai, lamban, dan kurang cermat dalam mencegah dan menangani penyebaran Covid-19 di Indonesia, pemerintah harus mempertanggungjawabkan sikap dan kebijakannya kepada publik.

Tidak hanya pada aspek pencegahan dan percepatan penanganan Covid-19 dan seluruh dampaknya, tetapi juga spesifik pada tanggung jawab pemerintah untuk membantu menyelesaikan hiruk pikuk force majeure akibat Covid-19 ini. Pemerintah harus mengupayakan berbagai strategi kebijakan, insentif, dan diplomasi kepada segenap pemangku kepentingan dan berbagai pihak terdampak. Tujuannya adalah menyeimbangkan kepentingan kedua pihak untuk menghindari pembatalan kontrak-kontrak bisnis dengan alasan force majeure.

Secara konkrit, untuk mengatasi pembatalan kontrak akibat force majeure, pemerintah harus menerbitkan kebijakan: (a) relaksasi pembayaran kredit perbankan; (b) memberikan insentif bagi pelaku usaha dalam bentuk keringanan pajak, baik pengurangan maupun penghapusan; (c) mempercepat pembayaran kewajiban pemerintah bilamana pemerintah berkontrak dengan pelaku usaha, sehingga ini akan mengurangi beban pelaku usaha; (d) dalam konteks untuk antisipasi pemutuhan hubungan kerja, pemerintah dapat memberikan keringanan pajak pekerja dan premi BPJS, yang biasanya ditanggung oleh pemberi kerja; (e) penurunan atau pemberian bunga pinjaman pada suku bunga di bawah harga pasar; (f) pengurangan pajak impor atau bea masuk bahan baku industri; (g) dalam hal pelaku usaha berkontrak dengan pemerintah, maka pemerintah dapat melakukan renegosiasi kontrak menyepakati ulang milestones pemenuhan kontrak sehingga memberikan kemudahan dan keringanan dalam pelaksanaan kontrak; dll.

Tulisan ini dapat diunduh disini.

 

Referensi 

1. Francis Fukuyama, Guncangan Besar, Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2005.

2. Giacomo Marchisio, Rebus Sic Stantibus: A Comparative Analysis for International Arbitration (July 11, 2012). Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=2103641 or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.2103641 

3. Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, PT Bumi Aksara, Jakarta: 2006.

4. Mark Lipsitch, dkk., “Using predicted imports of 2019-nCoV cases to determine locations that may not be identifying all imported cases.” Available at: https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.02.04.20020495v1.full.pdf 

5. Michael Singer, The Legacy of Positivism, Palgrave MacMillan, New York: 2005.

6. Sir Henry Sumner Maine, Ancient Law: Its Connection With The Early History of Society and Its Relation To Modern Ideas. Pg. 163-164. Available at: https://archive.org/details/ancientlaw030840mbp/page/n7/mode/2up 

7. Willian E. Conklin, The Invisible Origins of Legal Positivism, A Re-Reading of a Tradition, Dordrecht: Springer-Science+Business Media.

8. Covid-19 Bencana Nasional, Force Majeur atau Rebus Sic Stantibus Dapat Dipakai Batalkan Kontrak? (https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e97c6ddc1160/covid-19-bencana-nasional—iforce-majeur-i-atau-irebus-sic-stantibus-i-dapat-dipakai-batalkan-kontrak).

9. Coronavirus: the economic impact (https://www.unido.org/stories/coronavirus-economic-impact).

10. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menko Polhukam: Keppres Penetapan Bencana Non Alam Tak Bisa Jadi Dasar Pembatalan Kontrak Bisnis, Siaran Pers No. 82/SP/HM.01.02/POLHUKAM/4/2020. (https://polkam.go.id/menko-polhukam-keppres-penetapan-bencana-alam-tak/).

11. Peta Sebaran (https://covid19.go.id/peta-sebaran).

Comments

Popular posts from this blog

Upgrade Dell Inspiron 14 3458 Core i3-5005u (Broadwell)

Review Dell Inspiron 14 3458 Core i3-5005u (Broadwell)

Illegal Logging: Sebab, Akibat, dan Penanggulangannya