Pemakzulan Presiden

Beberapa hari ini ramai soal pemakzulan Presiden yang dipicu dari adanya rencana diskusi dengan tema “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan.” Diskusi itu sendiri urung terlaksana akibat adanya teror terhadap Prof. Ni’matul Huda, yang merupakan narasumber dalam diskusi tersebut. Batalnya diskusi dan teror terhadap Prof. Ni’matul Huda disinyalir terjadi karena Dosen Fakultas Teknik UGM, Bagas Pujilaksono Widyakanigara menyampaikan tuduhan bahwa diskusi tersebut merupakan bagian dari upaya makar.

Saya tidak ingin larut dalam perdebatan tersebut, meskipun saya juga kecewa dengan upaya-upaya memberangus kebebasan akademis. Bagaimanapun juga, diskusi mengenai pemakzulan presiden telah menjadi materi ajar fakultas hukum.

Jika kita menilik Pasal 7A dan Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945 hasil amandemen keempat, pemakzulan presiden bukanlah sesuatu yang mudah, ada syarat dan mekanisme yang sangat berat untuk bisa memakzulkan presiden. Pasal 7A mensyaratkan bahwa pemakzulan presiden dilakukan melalui usulan DPR kepada MPR dengan bukti bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak memenuhi syarat sebagai presiden.

Kemudian Pasal 7B mengatur mengenai mekanisme pemakzulannya, yang dimulai melalui permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadili bahwa presiden telah memenuhi syarat pemakzulan sebagaimana diatur Pasal 7A. Permintaan DPR ini juga harus mencerminkan dua pertiga anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri minimal dua pertiga dari keseluruhan jumlah anggota DPR. Pun Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa presiden dapat dimakzulkan karena sudah memenuhi ketentuan Pasal 7A, tidak serta merta presiden dapat dimakzulkan. Putusan Mahkamah Konstitusi masih harus dibawa ke sidang MPR, yang minimal dihadiri tiga perempat dari seluruh anggota MPR dan harus disetujui minimal dua pertiga jumlah anggota yang hadir.

Dengan komposisi dukungan legislatif terhadap pemerintahan yang sangat besar (75%) dibanding oposisi (25%), presiden seharusnya tidak perlu khawatir akan dilengserkan melalui mekanisme pemakzulan. Pemerintahan dengan sistem presidensial, nyaris tidak ada yang berhasil melengserkan presiden melalui mekanisme pemakzulan. Pun jika kita melihat praktik pemakzulan presiden di Amerika Serikat, yang merupakan kiblat sistem pemerintahan presidensial. Dalam sejarahnya, Amerika Serikat pernah tiga kali memproses pemakzulan terhadap presiden, yaitu terhadap Andrew Johnson, Bill Clinton, dan terakhir Donald Trump. Ketiganya gagal dimakzulkan karena tidak memenuhi jumlah suara pemakzulan. Bahkan voting pemakzulan Andrew Johnson gagal oleh satu suara saja.

Jadi, presiden tidak perlu khawatir berlebihan terhadap diskusi-diskusi terkait pemakzulan presiden. Pertama, karena itu merupakan diskusi yang sejak dulu memang menjadi bagian materi ajar perkuliahan fakultas hukum. Kedua, pemakzulan merupakan proses politik yang berat, baik syarat maupun mekanismenya. Ketiga, komposisi legislatif pro pemerintah dominan menguasai DPR, yang angkanya mencapai 75%.

Comments