Surat Kedinasan Staf Khusus Presiden: Melihat Kembali Penggunaan Lambang Negara dan Tata Naskah Dinas Dalam Surat Kedinasan Pemerintah
Di media sosial beredar surat dengan kop Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, lengkap dengan lambang negara Garuda Pancasila. Surat bernomor 003/S-SKP-ATGP/IV/2020 tersebut berisi mengenai kerjasama sebagai relawan desa lawan Covid-19, yang ditujukan kepada camat di seluruh Indonesia. Yang menjadi perhatian adalah bahwa surat tersebut ditandatangani oleh Andi Taufan Garuda Putra, yang merupakan Staf Khusus Presiden Republik Indonesia. Ketika ditelusuri lebih jauh, Andi ini merupakan CEO PT. Amartha Mikro Fintech, perusahaan yang juga disebut dalam surat tersebut.
Surat tersebut secara lengkap berisi mengenai tiga hal, yaitu: (1) adanya komitmen dari PT. Amartha Mikro Fintech untuk turut serta menjalankan program Relawan Desa Lawan Covid-19 yang diinisiasi oleh Kementerian Desa, Pembangungan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; (2) cakupan komitmen PT. Amartha Mikro Fintech, yang mencakup kegiatan edukasi Covid-19 kepada masyarakat dan pendataan kebutuhan alat pelindung diri Puskesmas; (3) permintaan bantuan kepada camat dan perangkat desa di seluruh Indonesia agar mendukung pelaksanaan program Relawan Desa Lawan Covid-19 yang dilaksanakan oleh PT. Amartha Mikro Fintech ini.
Sekilas, jika kita memperhatikan mengenai substansi surat tersebut, yang menandatanganinya, dan juga kop surat yang lengkap dengan lambang Garuda Pancasila, kita akan mendapatkan kesan bahwa Staf Khusus Presiden Republik Indonesia, yang sekaligus merupakan CEO PT. Amartha Mikro Fintech, tengah berupaya untuk mengambil keuntungan untuk kepentingannya sendiri dan koleganya dengan memanfaatkan posisinya saat ini sebagai Staf Khusus Presiden Republik Indonesia. Namun demikian, catatan ini ingin melihat mengenai ketentuan penggunaan lambang negara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, sekaligus melihat lebih jauh mengenai tata naskah dinas instansi pemerintah, khususnya di lingkungan Sekretariat Kabinet.
Penggunaan lambang negara diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pasal 52 Undang-Undang tersebut mengatur bahwa lambang negara salah satunya dapat digunakan sebagai cap atau kop surat jabatan. Kemudian di Pasal 54-nya, disebutkan secara rinci mengenai siapa-siapa yang boleh menggunakan lambang negara dalam kop surat jabatan, antara lain: presiden, MPR, DPR, DPR, Mahkamah Agung dan badan peradilan, BPK, menteri dan pejabat setingkat menteri, kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, gubernur, bupati atau walikota, notaris, dan pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang. Jika merujuk pada ketentuan Pasal 52 dan Pasal 54 Undang-Undang tersebut, maka Staf Khusus Presiden Republik Indonesia tidak termasuk sebagai salah satu yang berwenang menggunakan lambang negara dalam kop surat, telebih untuk surat yang isinya perihal kedinasan.
Penulis kemudian menelusuri peraturan teknis penggunaan lambang negara dalam kop surat, khususnya di Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Terdapat Peraturan Sekretaris Kabinet Republik Indonesia No. 16 Tahun 2012 tentang Tata Naskah Dinas Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (Perseskab No. 16/2012). Peraturan ini diterbitkan sebagai dasar bagi para pejabat dan pegawai dalam mengelola naskah dinas di Sekretariat Kabinet. Lebih lanjut, dalam lampiran Peraturan tersebut diatur secara rinci mengenai pedoman tata naskah dinasnya, baik dari sisi jenis-jenis naskah dinas, susunan dan format penulisan masing-masing naskah dinas, penggunaan lambang negara dan logo, dan termasuk wewenang pembuatan dan penandatanganan masing-masing naskah dinas.
Merujuk pada Lampiran Perseskab No. 16/2012, maka surat yang ditandatangani Staf Khusus Presiden Republik Indonesia tersebut masuk dalam kategori surat dinas, khususnya jika dilihat dari format suratnya. Namun demikian, jika ditelaah lebih detil, maka surat tersebut tidak sesuai dengan ketentuan surat dinas sebagaimana diatur dalam Lampiran Perseskab No. 16/2012 tersebut. Ketidaksesuaian tersebut antara lain: pertama, terkait dengan wewenang pembuatan dan penandatanganan surat. Sesuai dengan Perseskab No. 16/2012, surat dinas dibuat dan ditandatangani oleh Sekretaris Kabinet atau pejabat seredah-rendahnya eselon II atau pejabat lain yang diberi pelimpahan wewenang secara tertulis oleh Sekretaris Kabinet atau pimpinan satuan organisasi/unit kerja. Merujuk pada Pasal 4 Peraturan Sekretaris Kabinet Republik Indonesia No. 4 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Kabinet (Perseskab No. 4/2015), susunan organisasi Sekretariat Kabinet meliputi: wakil Sekretaris Kabinet, deputi, staff ahli, inspektorat, dan pusat data dan informasi. Kemudian, Pasal 458 Perseskab No. 4/2015 menyebutkan mengenai pejabat eselon II, yang meliputi: asisten deputi, kepala biro, kepala pusat, dan inspektur. Dengan demikian, jika merujuk pada Perseskab No. 4/2015 ini, maka Staf Khusus Presiden Republik Indonesia tidak termasuk dalam kategori pejabat yang memiliki kewenangan untuk membuat surat dinas sebagaimana dimaksud pada Perseskab No. 16/2012.
Kedua, terkait dengan format. Surat Sekretariat Kabinet bernomor 003/S-SKP-ATGP/IV/2020 tersebut tidak sesuai dengan Perseskab No. 16/2012, terutama terkait dengan penggunaan lambang negara dan tata letak tanggal surat, pihak yang dituju, yang menandatangani, dan tembusannya. Untuk lambang negara, penggunaanya dalam surat dinas hanya bisa dilakukan jika surat dinas tersebut ditandatangani oleh Sekretaris Kabinet. Di dalam surat Sekretariat Kabinet bernomor 003/S-SKP-ATGP/IV/2020 tidak ditandatangani oleh Sekretaris Kabinet, sehingga seharusnya tidak menggunakan lambang negara, tetapi logo Sekretariat Kabinet. Kemudian terkait dengan tata letak, menurut Perseskab No. 16/2012, tanggal surat berada di sebelah kanan atas sebaris dengan nomor surat, begitu pun dengan pihak yang dituju, juga berada di kanan. Kemudian, yang menandatangani surat, berada di sebalah kanan bawah setelah uraian mengenai isi surat. Sedangkan tembusan surat berada di kiri bawah. Jika kita melihat tata letak surat Sekretariat Kabinet bernomor 003/S-SKP-ATGP/IV/2020, banyak ketidaksesuaiannya, tanggal surat berada di kanan atas, tetapi tidak sebaris dengan nomor surat, pihak yang dituju dan yang menandatangani surat berada di sebelah kiri.
Ketiga, terkait dengan nomor surat. Perseskab No. 16/2012 mengatur dengan sangat rinci mengenai struktur dan tata cara penomoran surat. Penomoran surat Sekretariat Kabinet bernomor 003/S-SKP-ATGP/IV/2020 yang ditandatangani Staf Khusus Presiden Republik Indonesia tidak sesuai dengan panduan penomoran dalam Perseskab No. 16/2012. Hal paling terlihat adalah soal nomor surat yang berjumlah tiga digit (003), padahal menurut Perseskab No. 16/2012, nomor surat untuk nomor 1 s/d 9 diawali dengan satu angka nol. Kemudian angka bulan diterbitkannya surat yang ditulis dengan angka romawi, padahal menurut Perseskab No. 16/2012, angka bulan ditulis dengan angka arab. Ketidaksesuaian kewenangan, format surat, dan penomoran surat ini tentunya bertentangan dengan Pasal 4 Perseskab No. 16/2012, yaitu tercapainya kesamaan pengertian dan penafsiran dalam penyelenggaraan tata naskah dinas, serta terciptanya tertib administrasi di lingkungan Sekretariat Kabinet.
Memperhatikan uraian beberapa peraturan perundang-undangan di atas, menurut hemat Penulis, surat Sekretariat Kabinet bernomor 003/S-SKP-ATGP/IV/2020 yang ditandatangani Staf Khusus Presiden Republik Indonesia tersebut cacat prosedur, sehingga batal demi hukum. Camat dan perangkat desa yang dituju oleh Surat tersebut juga tidak harus mematuhi Surat tersebut. Lebih dari itu, sebagaimana Penulis sebutkan di awal, surat ini dapat dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Sdr. Andi selaku Staf Khusus Presiden Republik Indonesia dengan tujuan untuk mengambil keuntungan untuk kepentingannya sendiri dan koleganya, dalam hal ini adalah PT. Amartha Mikro Fintech, yang merupakan perusahaan yang dia dirikan.
Pada saat dipublikasikannya catatan ini, Sdr. Andi selaku Staf Khusus Presiden Republik Indonesia telah menyatakan permintaan maafnya secara tertulis pada 14 April 2020, atas penerbitan Surat tersebut, sekaligus menarik kembali surat tersebut. Penulis tidak mengetahui secara pasti apakah Surat tersebut telah dilaksanakan di lapangan atau belum. Namun demikian, beberapa pembelajaran yang dapat diambil dari kasus ini adalah: pertama, pejabat tidak boleh menggunakan jabatannya untuk kepentingannya sendiri, terutama di situasi darurat kesehatan akibat Covid-19 ini. Kedua, penerbitan surat kedinasan, harus dilakukan sesuai dengan kewenangannya dengan mengindahkan kaidah-kaidah penggunaan lambang negara, logo instansi pemerintah, dan tata naskah dinas pemerintah, sebagaimana diatur oleh masing-masing instansi pemerintah. Dan kedepan, diharapkan, kasus seperti ini tidak terulang kembali.
Jakarta, 14 April 2020
Comments
Post a Comment