Urgensi Yurisprudensi Putusan Sengketa Informasi dalam Membangun Kesatuan Hukum dan Konsistensi Putusan Sengketa Informasi, Sekaligus Mempercepat Penyelesaian Sengketa di Komisi Informasi
1. Pendahuluan
Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) memperkenalkan atau mengakui adanya yurisprudensi putusan sengketa informasi. Secara lengkap Pasal 11 ayat (2) UU KIP menyatakan:
Informasi Publik yang telah dinyatakan terbuka bagi masyarakat berdasarkan mekanisme keberatan dan/atau penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 dinyatakan sebagai informasi publik yang dapat diakses oleh Pengguna Informasi Publik.
Pasal 11 ayat (2) UU KIP ini memberikan ruang bagi Komisi Informasi untuk membangun kesatuan hukum dan konsistensi putusan sengketa informasi, terhadap informasi-informasi yang telah diputus terbuka oleh Komisi Informasi dan pengadilan.
Dalam perkembangannya, upaya untuk mendorong kesatuan hukum dan konsistensi putusan sengketa informasi telah dilakukan oleh beberapa Komisi Informasi. Tercatat setidaknya tiga Komisi Informasi yang telah berupaya untuk menciptakan kesatuan hukum dan konsistensi putusan sengketa informasi, yaitu Komisi Informasi Provinsi Riau,1 Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Barat,2 dan Komisi Informasi Kalimantan Timur. Ketiga Komisi Informasi Provinsi tersebut mengeluarkan kebijakan, baik dalam bentuk Surat Edaran (SE) maupun Surat Keputusan (SK) Komisi Informasi yang menyatakan beberapa informasi di sektor lingkungan hidup dan sumber daya alam sebagai informasi terbuka dan wajib diberikan kepada pemohon informasi maupun diumumkan kepada publik.3
SE dan SK Komisi Informasi Provinsi ini, dalam hemat Penulis merupakan embrio dari yurisprudensi putusan sengketa informasi. Namun demikian, Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) perlu menginisiasi kebijakan ditingkat nasional untuk mewujudkan kesatuan hukum dan konsistensi putusan sengketa informasi. Terlebih lagi, jika, pertama,melihat tren permohonan informasi dan sengketa informasi yang terkait dengan informasi-informasi yang sebenarnya sudah pernah diputus, bahkan telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, adanya tumpukan perkara yang notabene merupakan perkara-perkara yang dengan informasi yang sama.
2. Sekilas Mengenai Yurisprudensi
Yurisprudensi berasal dari bahasa Latin, yaitu jurisprudentia yang berarti ilmu hukum. Beberapa ahli hukum di Indonesia memberikan definisi yurisprudensi sebagai berikut:
- Kansil, mendefinisikan yurisprudensi sebagai keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama.
- Sudikno Mertokusumo, mendefinisikan yurisprudensi sebagai pelaksanaan hukum dalam hal konkrit terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa dan siapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. Secara sederhana Sudikno mengatakan bahwa yurisprudensi adalah putusan pengadilan.
- Sudargo Gautama, mendefinisikan yurisprudensi sebagai ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan pengadilan dalam hal pengambilan suatu keputusan oleh Mahkamah Agung atas suatu yang belum jelas pengaturannya, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, diikuti oleh hakim bawahan, yang dihimpun secara sistematis.
- Ridwan Halim, mendefinisikan yurisprudensi sebagai suatu putusan hakim atas suatu perkara yang belum ada pengaturannya dalam undang-undang yang untuk selanjutnya menjadi pedoman bagi hakim-hakim lainnya yang mengadili kasus-kasus serupa.
- Subekti, mendefinisikan yurisprudensi sebagai putusan hakim atau pengadilan yang tetap dan dibenarkan Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah tetap.
Dari definisi yurisprudensi yang dikemukakan lima ahli hukum di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai yurisprudensi, yaitu:
- putusan/keputusan Mahkamah Agung atas suatu yang belum jelas pengaturannya;
- putusan/keputusan hakim/pengadilan terdahulu;
- putusan/keputusan telah berkekuatan hukum tetap;
- putusan/keputusan yang diikuti atau menjadi pedoman bagi hakim-hakim berikutnya untuk memutus masalah yang sama;
- ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan pengadilan dalam hal pengambilan suatu keputusan;
- putusan/keputusan yang dihimpun secara sistematis;
- putusan/keputusan yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung;
- putusan/keputusan Mahkamah Agung sendiri yang telah berkekuatan hukum tetap.
Yurisprudensi merupakan produk hukum dari lembaga yudikatif,4 yang berperan sebagai sumber hukum maupun panduan bagi para hakim dalam memutus perkara. Dalam konteks peradilan, yurisprudensi merupakan upaya dalam pembentukan hukum, pembaruan hukum dan pembinaan hukum.5 Yurisprudensi juga terkait erat dengan akuntabilitas dan pengawasan hakim, misalnya terkait dengan upaya menekan disparitas putusan suatu perkara, sekaligus mengawasi perilaku hakim dalam konteks putusan.
Yurisprudensi merupakan putusan yang memiliki kriteria tertentu. Badan Pembinaan Hukum Nasional merumuskan lima kriteria utama suatu putusan bisa dimasukkan sebagai yurisprudensi, yaitu:6
- Keputusan atas sesuatu peristiwa yang belum jelas pengaturan perundang-undangannya;
- Keputusan itu merupakan keputusan tetap;
- Telah berulang kali diputus dengan keputusan yang sama dan dalam kasus yang sama;
- Memiliki rasa keadilan;
- Keputusan itu dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
Berdasarkan lima kriteria di atas, yurisprudensi dapat dirumuskan sebagai putusan-putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap menyangkut suatu perkara yang baru dan menarik dari sudut ilmu hukum, atau suatu penafsiran atau penalaran hukum baru terhadap suatu norma hukum yang diikuti oleh para hakim atau badan peradilan lain dalam memutus perkara atau kasus yang sama.7
Di Indonesia, yurisprudensi dibagi dalam dua jenis, yaitu: Yurisprudensi Tetap dan Yurisprudensi Tidak Tetap. Yurisprudensi Tetap adalah keputusan keputusan hakim yang berulangkali dipergunakan pada kasus-kasus yang sama, putusan mana merupakan Standaardaaresten, yaitu keputusan MA yang menjadi dasar bagi pengadilan untuk mengambil keputusan. Sedangkan Yurisprudensi Tidak Tetap adalah yurisprudensi yang belum menjadi yurisprudensi tetap, karena tidak selalu diikuti oleh hakim.
3. Yurisprudensi: Antara Kemerdekaan Hakim dan Konsistensi Putusan
Bagaimanapun, terkait dengan yurisprudensi akan tiba pada suatu perdebatan: kemerdekaan hakim atau konsistensi putusan? Pada prinsipnya, kemandirian atau kemerdekaan hakim terletak pada dua sisi, yaitu personal/individual hakim dan institusi pengadilan yang menjadi rumah bagi para hakim. Keberadaan yurisprudensi dianggap sebagai bentuk intervensi terhadap hakim yang pada gilirannya mencederai kemerdekaan seorang hakim. Namun demikian, dalam praktek, para hakim memiliki kebiasaan untuk mengikuti putusan hakim terdahulu ketika memutus suatu perkara yang sama. Kebiasaan ini seharusnya tidak dimaknai sebagai suatu bentuk intervensi terhadap hakim. Pun demikian dengan yurisprudensi, tidak boleh dimaknai sebagai bentuk intervensi terhadap hakim. Utrech memberikan analogi sebagai berikut: “Seorang hakim yang menuruti suatu keputusan seorang hakim lain, tidak berarti bahwa hakim yang disebut pertama secara tegas mendapat suatu perintah dari hakim yang lain itu supaya menurut keputusannya.”8
Di lain pihak, yurisprudensi merupakan upaya dalam mendorong kepastian hukum melalui kesatuan hukum dan konsistensi putusan. Perwujudan kepastian hukum melalui kesatuan hukum dan konsistensi putusan akan mencegah atau menghindarkan disparitas dan inkonsistensi putusan. Hakim diharapkan menerapkan standar hukum yang sama terhadap kasus atau perkara yang sama atau serupa dengan perkara yang telah putus atau diadili oleh hakim sebelumnya, sehingga putusan terhadap perkaranya dapat diprediksikan oleh pencari keadilan.9
4. Fungsi Yurisprudensi
Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung mengungkapkan bahwa yurisprudensi memiliki berbagai fungsi, yaitu:10
- Dengan adanya putusan-putusan yang sama dalam kasus yang serupa, maka dapat ditegakkan adanya standar hukum yang sama.
- Dengan adanya standar hukum yang sama, maka dapat diciptakan rasa kepastian hukum di masyarakat.
- Dengan diciptakannya rasa kepastian hukum dan kesamaan hukum terhadap kasus yang sama, maka putusan hakim akan bersifat dapat diperkirakan dan ada transparansi.
- Dengan adanya standar hukum, maka dapat dicegah kemungkinan-kemungkinan timbulnya disparitas dalam berbagai putusan hakim yang berbeda dalam perkara yang sama. Andai kata timbul perbedaan putusan antara hakim yang satu dengan yang lainnya dalam kasus yang sama, maka hal itu jangan sampai menimbulkan disparitas tetapi hanya bercorak sebagai variabel secara kasuistik (kasus demi kasus).
Selain itu, konsistensi putusan melalui yurisprudensi dapat mengurangi arus perkara yang masuk ke Mahkamah Agung. Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independensi Peradilan menyatakan bahwa 93,16% perkara di tingkat banding masuk ke Mahkamah Agung dan salah satu faktor dominan tingginya arus perkara tersebut adalah inkonsistensi putusan atau ketidakjelasan sikap Mahkamah Agung atas suatu permasalahan hukum.11
5. Yurisprudensi Putusan Sengketa Informasi
Dasar Hukum
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa Pasal 11 ayat (2) UU KIP memperkenalkan atau mengakui adanya yurisprudensi putusan sengketa informasi. Secara lengkap Pasal 11 ayat (2) UU KIP menyatakan:
Informasi Publik yang telah dinyatakan terbuka bagi masyarakat berdasarkan mekanisme keberatan dan/atau penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 dinyatakan sebagai informasi publik yang dapat diakses oleh Pengguna Informasi Publik.
Pasal 11 ayat (2) UU KIP ini memberikan ruang bagi Komisi Informasi untuk membangun kesatuan hukum dan konsistensi putusan sengketa informasi, terhadap informasi-informasi yang telah diputus terbuka oleh Komisi Informasi dan pengadilan. Meski Pasal 11 ayat (2) UU KIP secara eksplisit menyatakan bahwa yurisprudensi putusan sengketa informasi terhadap substansi informasi, tetapi dalam konteks lebih luas, dapat memperluas makna Pasal ini dalam kaidah putusan Komisi Informasi di luar substansi informasi. Misalnya, dalam kaitannya dengan legal standing para pihak, kewenangan Komisi Informasi, dll.
Tahapan Penyusunan Yurisprudensi
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa kriteria utama putusan-putusan yang dapat dijadikan sebagai yurisprudensi adalah putusan-putusan yang memenuhi kriteria:
- Putusan/keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap;
- Telah berulang kali diputus dengan putusan yang sama atau diikuti atau menjadi pedoman bagi hakim-hakim berikutnya untuk memutus perkara yang sama.
Dalam konteks dua kriteria tersebut di atas, dalam upaya menyusun yurisprudensi putusan sengketa informasi, KI Pusat bersama-sama dengan Komisi Informasi Provinsi perlu menempuh tahapan-tahapan sebagai berikut:
- Mengidentifikasi dan mengumpulkan berbagai putusan sengketa informasi yang telah berkekuatan hukum tetap. Putusan yang berkekuatan hukum tetap dapat berasal dari putusan ditingkat Komisi Informasi, putusan ditingkat pengadilan (PN atau PTUN), dan putusan ditingkat Mahkamah Agung.
- Mengidentifikasi, mengkaji, dan mengumpulkan berbagai pertimbangan hukum yang paling kuat, obyektif, dan memenuhi rasa keadilan dalam berbagai putusan yang telah diidentifikasi dan dikumpulkan sebagaimana Angka 1.
- Menyusun secara sistematis berbagai putusan dan pertimbangan hukum sebagaimana Angka 1 dan 2 dalam sebuah buku yurisprudensi putusan sengketa informasi.
- Menyosialisasikan yurisprudensi putusan sengketa informasi kepada seluruh Komisi Informasi, badan publik, dan masyarakat luas.
- Melakukan pembaruan (updating)yurisprudensi putusan sengketa informasi sebagaimana Angka 1, 2, 3, dan 4. Harus dipahami bahwa yurisprudensi merupakan living document yang akan berkembang seiring dengan dinamika putusan Komisi Informasi dan pelaksanaan keterbukaan informasi. Dengan demikian, yurisprudensi putusan Komisi Informasi harus dilakukan pembaruan sesuai dengan dinamika putusan Komisi Informasi dan pelaksanaan keterbukaan informasi.
6. Optimalisasi Fungsi Yurisprudensi Putusan Sengketa Informasi
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa tujuan utama yurisprudensi adalah mewujudkan kepastian hukum melalui kesatuan hukum dan konsistensi putusan. Dalam konteks penyelesaian sengketa di Komisi Informasi, keberadaan yurisprudensi dapat dioptimalkan untuk mempercepat proses penyelesaian sengketa informasi. Misalnya, terhadap sengketa-sengketa informasi yang diajukan ke Komisi Informasi, dimana sengketa-sengketa tersebut telah ada yurisprudensinya, maka dalam tahap pemeriksaan, Majelis Komisioner tidak perlu menggali fakta hukum terkait dengan substansi informasi yang disengketakan. Majelis Komisioner bisa fokus pada, pertama,legal standing para pihak, jika memanglegal standing-nya masih belum jelas. Kedua, keberadaan informasi yang disengketakan apakah dikuasai oleh badan publik atau tidak. Ketiga, jangka waktu yang dibutuhkan badan publik untuk memberikan informasi yang diminta kepada pemohon informasi. Kemudian, pada tahap putusan, Majelis Komisioner tidak perlu menguraikan secara rinci mengenai pertimbangan hukum putusan yang menyatakan suatu informasi harus dibuka dan diberikan kepada pemohon. Majelis Komisioner dapat langsung merujuk pada putusan-putusan sebelumnya. Dalam konteks ini, putusan menjadi lebih sederhana dan lebih ringkas.
Kemudian dalam konteks regulasi, yurisprudensi putusan sengketa informasi dapat digunakan untuk merevisi Peraturan Komisi Informasi (Perki), terutama Perki terkait dengan standar layanan informasi publik (fokus pada substansi informasi dan legal standing para pihak). Juga terhadap Perki terkait dengan prosedur penyelesaian sengketa informasi publik (fokus pada kewenangan Komisi Informasi), dll.
Yurisprudensi juga dapat dimanfaatkan untuk meminimalisir permohonan penyelesaian sengketa informasi yang masuk ke Komisi Informasi, caranya adalah menyosialisasikan yurisprudensi putusan sengketa informasi kepada seluruh badan publik, baik tingkat pusat maupun daerah. Sosialisasi dapat dilakukan melalui seminar, publikasi dalam bentuk buku, dan bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri dan kementerian teknis terkait untuk mendorong badan publik tingkat daerah untuk membuka dan mengumumkan informasi-informasi yang telah dinyatakan terbuka yang terdapat dalam yurisprudensi putusan sengketa informasi.
Artikel dapat diunduh disini.
Catatan Kaki
1 Lihat Surat Edaran No. 01/S.E-KIP-R/XI/Tahun 2016 tentang Dokumen Hak Guna Usaha Sebagai Informasi Publik yang Terbuka dan Wajib Disediakan Setiap Saat Oleh Badan Publik, Surat Edaran No. 02/S.E-KIP-R/XI/Tahun 2016 tentang Dokumen IUPHHK, RKU, RKT, RPBBI, dan IPK Sebagai Informasi Publik yang Wajib Disediakan Setiap Saat Oleh Badan Publik, Surat Edaran No. 03./S.E-KIP-R/XI/Tahun 2016 tentang Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Sebagai Informasi Publik yang Wajib Disediakan Setiap Saat Oleh Badan Publik, Surat Keputusan No. 01/KPTS-KIP-R/XI/2016 tentang Kewajiban Badan Publik Untuk Menyediakan dan Mengumumkan Informasi Publik Terkait Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau, Surat Keputusan No. 02/KPTS-KIP-R/XI/2016 tentang Kewajiban Badan Publik Untuk Menyediakan dan Mengumumkan Informasi Publik Terkait Izin Usaha Perkebunan di Provinsi Riau.
2 Surat Edaran No. 01/SE-KIKALBAR/08/2017 tentang Dokumen Hak Guna Usaha Sebagai Informasi Publik yang Terbuka dan Wajib Disediakan Setiap Saat Oleh Badan Publik, Surat Edaran No. 02/SE-KIKALBAR/08/2017 tentang Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Sebagai Informasi Publik yang Wajib Disediakan Setiap Saat Oleh Badan Publik, Surat Edaran No. 03/SE-KIKALBAR/08/2017 tentang Dokumen Izin Lingkungan, Izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan, dan Izin Sektor Kehutanan Sebagai Informasi Publik yang Terbuka dan Wajib Disediakan Setiap Saat Oleh Badan Publik, Surat Edaran No. 04/SE-KIKALBAR/08/2017 tentang Informasi Status Tanah Sebagai Informasi Publik yang Terbuka dan Wajib Disediakan Setiap Saat Oleh Badan Publik, Surat Edaran No. 05/SE-KIKALBAR/08/2017 tentang Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan, Rencana Pemantauan Lingkungan, Rencana Kerja Usaha, Rencana Kerja Tahunan, Bagan Kerja Tahunan, Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri Sebagai Informasi Publik yang Terbuka dan Wajib Disediakan Setiap Saat Oleh Badan Publik, Surat Edaran No. 06/SE-KIKALBAR/08/2017 tentang Dokumen Pelepasan dan Penetapan Kawasan Hutan Sebagai Informasi Publik yang Terbuka dan Wajib Disediakan Setiap Saat Oleh Badan Publik.
3 Surat Edaran dan Surat Keputusan ini disusun berdasarkan putusan Komisi Informasi yang kemudian dikuatkan melalui putusan pengadilan, baik tingkat pertama (PN dan PTUN) maupun kasasi (Mahkamah Agung).
4 Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil MA RI,Kedudukan dan Relevansi Yurisprudensi Untuk Mengurangi Disparitas Putusan Pengadilan, (Jakarta: Penerbit Balitbang Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA RI, 2010), hal. 103.
5 Ibid.
6 Paulus Effendi Lotulung, Peranan Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1997), hal. 8.
7 Ibid., hal. 5.
8 Ernst Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar, 1957), hal. 125.
9 Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung, Meningkatkan Kualitas Peradilan TUN Dengan Persamaan Persepsi Dalam Penerapan Hukum, Makalah, hal. 2.
10 Ibid., hal. 17.
11 Ade Rizky Fachreza, Yurisprudensi dan Kemerdekaan Hakim dalam Kaitannya dengan Konsistensi Putusan dalam Peradilan Indonesia,http://leip.or.id/yurisprudensi-dan-kemerdekaan-hakim-dalam-kaitannya-dengan-konsistensi-putusan-dalam-peradilan-indonesia/diakses pada tanggal 2 Maret 2018, Pukul 18.13.
Referensi
Fachreza, Ade Rizky. Yurisprudensi dan Kemerdekaan Hakim dalam Kaitannya dengan Konsistensi Putusan dalam Peradilan Indonesia, http://leip.or.id/yurisprudensi-dan-kemerdekaan-hakim-dalam-kaitannya-dengan-konsistensi-putusan-dalam-peradilan-indonesia/
Lotulung, Paulus Efendi. Peranan Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1997)
‾‾‾‾‾ Meningkatkan Kualitas Peradilan TUN Dengan Persamaan Persepsi Dalam Penerapan Hukum, Makalah.
Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil MA RI, Kedudukan dan Relevansi Yurisprudensi Untuk Mengurangi Disparitas Putusan Pengadilan, (Jakarta: Penerbit Balitbang Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA RI, 2010).
Comments
Post a Comment