Pendahuluan
Pada 11 Januari 2018 Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 2018 tentang Surat Keterangan Penelitian (Permendagri 3/2018). Permendari ini berpotensi besar dalam menghambat laju penelitian di Indonesia, yang sebenarnya juga tidak bagus-bagus amat, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Hal lain, Permendagri ini juga akan menghambat laju keterbukaan informasi, khususnya dari sisi Pemohon Informasi.
Garis Besar Substansi Permendagri 3/2018
Permendagri 3/2018 terdiri dari delapan Bab dan 23 Pasal, dan merupakan revisi dari Permendagri No. 64 Tahun 2011 jo Permendagri 7 Tahun 2014 tentang Pedoman Penerbitan Rekomendasi Penelitian. Permendagri ini diterbitkan dengan tujuan untuk melakukan tertib administrasi dan pengendalian pelaksanaan penelitian dalam rangka kewaspadaan terhadap dampak negatif yang diperkirakan akan timbul dari proses penelitian dan tidak termasuk pengkajian terhadap substansi penelitian (Pasal 2).
Ruang lingkup penelitian yang diatur dalam Permendagri ini bersandar pada aspek geografis atau administrasi pemerintahan, yaitu penelitian lingkup nasional, provinsi, dan kabupaten/kota (Pasal 3 dan 4). Permendagri mengatur bahwa setiap penelitian yang dilakukan harus memiliki Surat Keterangan Penelitian (SKP), kecuali terhadap penelitian yang: (1) dilakukan dalam rangka tugas akhir pendidikan/sekolah dari tempat pendidikan/sekolah di dalam negeri; dan (2) dilakukan oleh instansi pemerintah yang didanai oleh APBN/APBD (Pasal 5).
SKP dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gubernur, atau Bupati/Walikota, sesuai dengan cakupan wilayah penelitian (Pasal 6). SKP diterbitkan melalui tiga tahap, yaitu: (1) pengajuan permohonan (secara tertulis); (2) verifikasi dokumen persyaratan; dan (3) penandatanganan SKP.
Pada tahap awal, permohonan SKP harus mendapat persetujuan dari lurah untuk peneliti perseorangan, pimpinan lembaga pendidikan untuk peneliti dari lembaga pendidikan, pimpinan badan usaha untuk peneliti badan usaha, pimpinan organisasi kemasyarakatan untuk peneliti organisasi kemasyarakatan (Pasal 8). Permohonan SKP ini diajukan kepada Mendagri, Gubernur, atau Bupati/Walikota dengan melampirkan: proposal penelitian, surat pernyataan untuk menaati dan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, surat penyataan bertanggungjawab terhadap keabsahan dokumen/berkas yang diserahkan, identitas peneliti (Pasal 9). Terhadap permohonan SKP, unit yang dimandatkan Mendagri, Gubernur, atau Bupati/Walikota akan melakukan penelaahan, dan paling lama lima hari, akan diputuskan apakah SKP akan diterbitkan atau tidak (Pasal 10, 11, dan 12). SKP ini berlaku selama satu tahun sejak diterbitkan (Pasal 14). Dalam hal penelitian membutuhkan waktu lebih dari satu tahun, maka harus megajukan perpanjangan SKP dengan melampirkan laporan hasil kegiatan penelitian yang sudah dilakukan (Pasal 15).
Permendagri juga mewajibkan peneliti untuk menyampaikan hasil penelitian kepada Mendagri, Gubernur, atau Bupati/Walikota, sesuai dengan cakupan wilayah penelitian (Pasal 17).
Permasalahan Hukum Permendagri 3/2018
Ada beberapa permasalahan hukum Permendagri 3/2018, baik dalam tataran normatif maupun implementasi. Pertama, jika melihat konsiderannya, terlihat kejanggalan, karena tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian, dunia akademis, atau semacamnya. Peraturan perundang-undangan yang dirujuk adalah terkait dengan penyelenggaraan pemerintah, yang tidak ada kaitannya dengan penelitian. Aneh!!! Peraturan mengenai penelitian, tetapi tidak merujuk pada peraturan perundang-undangan terkait penelitian.
Kedua, peneliti yang dimaksud dalam Permendagri hanya mencakup peneliti yang berstatus warga negara Indonesia, padahal ada peneliti yang merupakan warga negara asing. Beberapa kalangan menyebut bahwa ini merupakan bentuk diskriminasi terhadap WNI sendiri. Meskipun sebenarnya ada banyak peraturan perundang-undangan yang juga membatasi (baca: mengatur) peneliti asing di Indonesia. Misalnya yang paling spesifik adalah Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2006 tentang Perizinan Bagi Perguruan Tinggi Asing, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Asing, Badan Usaha Asing dan Orang Asing dalam Melakukan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan di Indonesia.
Ketiga, jika melihat tujuan dari Permendagri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, terdapat beberapa hal yang dituju, yaitu: pengadministrasian penelitian, mengendalikan pelaksanaan penelitian, dan mengantisipasi dampak negatif penelitian. Ketiga tujuan ini kemudian diterjemahkan dalam bentuk pemberian izin penelitian berupa SKP. Tanpa SKP berarti penelitian tidak bisa dijalankan. Pada sisi yang lain, pengendalian pelaksanaan penelitian dan upaya antisipasi dampak negatif penelitian merupakan bentuk intervensi terhadap kaidah dan objektifitas penelitian.
Keempat, substansi BAB III – Pelaksanaan Penerbitan Surat Keterangan Penelitian merupakan bentuk birokratisasi berlapis kegiatan penelitian. Hal ini karena untuk mengajukan permohonan SKP, terutama bagi peneliti perseorangan, pertama-tama harus mendapatkan izin dari lurah/kepala desa, baru kemudian bisa mengajukan permohonan SKP kepada Mendagri, Gubernur, atau Bupati/Walikota. Dalam tataran praktis, proses mendapatkan SKP ini akan memakan waktu yang cukup lama, karena harus berhadapan dengan birokrasi kelurahan, yang terkadang justru lebih lambat dalam memberikan pelayanan masyarakat. Apalagi, Permendagri hanya mengatur waktu penerbitan di tingkat unit pelayanan di Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota, yaitu lima hari kerja (Pasal 12). Sedangkan di tingkat kelurahan tidak diatur jangka waktunya.
Kelima, Pasal 2 dan 11 menyatakan bahwa indikator penerbitan SKP adalah indikasi "dampak negatif penelitian." Namun demikian, Permendagri tidak menguraikan secara jelas, apa yang dimaksud dengan dampak negatif tersebut. Tidak ada indikator dari dampak negatif. Dalam tataran praktis, ini bisa represif terhadap usulan penelitian yang ingin mendapatkan SKP.
Berpotensi Diajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung
Jika melihat beberapa permasalahan hukum di atas, Permendagri ini melanggar hak-hak asasi warga negara. Misalnya, hak untuk mengembangkan diri dan mendapatkan informasi. Hal ini karena kegiatan penelitian terkait erat dengan upaya mengembangkan diri dan mendapatkan informasi, sebagaimana didefinisikan dalam Permendagri ini. “Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 1 angka 4).
Dalam konteks tersebut, Permendagri ini berpotensi untuk diajukan judicial review ke Mahkamah Agung. Beberapa peraturan perundang-undangan yang dilanggar Permendagri ini antara lain: Pasal 28C dan Pasal 28 F UUD NRI Tahun 1945, Pasal 11, 12, 13, 14, 15, dan 16 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 3 huruf a, c, dan e, serta Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Artikel di atas dapat diunduh melalui tautan berikut ini.
Comments
Post a Comment