Tinjauan Hukum “Hak” Pengangkatan Kembali Anggota Komisi Informasi Berdasarkan Pasal 33 UU KIP

A. Pendahuluan
Salah satu kesepakatan Rapat Koordinasi Nasional Komisi Informasi yang dilaksanakan pada 13 September 2014 di Hotel Grand Legi Mataram adalah: “Menerima rancangan Perki Pedoman Pelaksanaan Seleksi dan Penetapan Anggota Komisi Informasi dengan memperhatikan masukkan tentang juklak dan juknis anggota Komisi Informasi incumbent.”
Frasa “memperhatikan masukkan tentang juklak dan juknis anggota Komisi Informasi incumbent,” oleh mayoritas Komisi Informasi Provinsi (KI Provinsi) dimaknai sebagai hak anggota Komisi Informasi untuk dapat diangkat kembali –tanpa melalui mekanisme seleksi anggota Komisi Informasi. Hal ini sebagaimana diatur Pasal 33 Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), yang menyatakan: “Anggota Komisi Informasi diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu periode berikutnya.” Pasal inilah yang menjadi basis argumentasi mayoritas anggota KI Provinsi untuk dapat diangkat kembali sebagai anggota Komisi Informasi tanpa melalui tahapan seleksi.
Menguatnya keinginan KI Provinsi untuk menggunakan Pasal 33 UU KIP sebagai dasar pengangkatan kembali menjadi anggota Komisi Informasi tanpa melalui tahapan seleksi tidak lepas dari beberapa pengalaman seleksi KI Provinsi yang mayoritas anggotanya tidak terpilih kembali karena harus melewati seluruh tahapan seleksi. Beberapa pengalaman tersebut misalnya terjadi di KI Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Namun demikian, benarkah Pasal 33 UU KIP dapat dimaknai sebagai “hak” anggota Komisi Informasi untuk diangkat kembali dalam periode jabatan berikutnya tanpa melalui tahapan seleksi? Bagaimana penerapan Pasal 33 UU KIP tersebut?
B. Cara Membaca Pasal dalam Peraturan Perundang-Undangan
Dalam ilmu hukum, untuk membaca pengaturan pasal dalam peraturan perundang-undangan dilakukan dengan 3 (tiga) metode penafsiran, yaitu: pertama,penafsiran gramatikal, merupakan metode penafsiran paling sederhana, karena hanya dilakukan dengan menguraikan bunyi pasal. Substansi pasal diuraikan dan disimpulkan dari susunan kata atau bunyi pasalnya.Kedua, penafsiran sistematis, merupakan metode penafsiran yang memperhatikan bunyi pasal dikaitkan dengan bunyi pasal-pasal lain yang terkait. Dalam bahasa lain, pasal yang ingin ditafsirkan dibaca bersama dengan pasal-pasal lain yang terkait yang ada dalam peraturan perundang-undangan dimaksud. Ketiga,penafsiran historis, merupakan metode penafsiran melalui telaah sejarah perdebatan pasal oleh pembuat peraturan perundang-undangan dimaksud. Telaah sejarah perdebatan ini merupakan bentuk “penyelidikan” terhadap maksud dari pembuat peraturan perundang-undangan ketika menetapkan peraturan perundang-undangan dimaksud. Telaah sejarah dapat dilakukan terhadap: risalah pembahasan, nasakah akademis, daftar inventaris masalah (DIM), dan wawancara pada pelaku sejarah penyusunan peraturan perundang-undangan dimaksud.
Selain tiga metode penafsiran di atas, untuk memaknai implementasi suatu pasal atau perundang-undangan juga dapat dilakukan dengan metode penafsiran sosiologis, penafsiran interdisipliner, dan penafsiran multidisipliner. Namun demikian, penafsiran pasal dalam peraturan perundang-undangan, secara umum menggunakan penafsiran gramatikal, sistematis, dan historis sebagaimana diuraikan di atas.
Untuk memahami secara utuh maksud suatu pasal, harus menggunakan sekaligus ketiga penafsiran –gramatikal, sistematis, dan historis. Penafsiran pasal secara gramatikal saja tidak akan mampu menangkap maksud sesungguhnya dari pengaturan pasal dimaksud, sehingga harus dibaca dalam rangkaian sistematis pengaturan pasal dimaksud dengan pasal-pasal lain yang terkait. Kemudian dalam hal membaca pasal dengan penafsiran gramatikal dan penafsiran sistematis belum mampu mengungkap makna sesungguhnya dari pasal –atau penafsir masih belum yakin dengan tafsir berdasarkan penafsiran gramatikal dan penafsiran sistematis, maka dapat melakukan telaah sejarah pembahasan dan pembuatan peraturan perundang-undangan dimaksud.
C. Membaca Pasal 33 UU KIP
Pasal 33 UU KIP, yang menyatakan: “Anggota Komisi Informasi diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu periode berikutya.” Secara gramatikal, pasal ini memiliki maksud sebagai berikut: (1) satu periode jabatan Komisi Informasi adalah 4 (empat) tahun; dan (2) Komisi Informasi dapat diangkat kembali untuk satu periode berikutnya.
Frasa “dapat diangkat kembali untuk satu periode berikutnya" dapat ditafsirkan: (1) melalui seleksi ulang, jika lolos baru ditetapkan kembali; atau (2) tanpa melalui seleksi ulang, tetapi langsung ditetapkan kembali. Nah, perdebatan pengangkatan kembali melalui seleksi ulang atau tanpa melalui seleksi ulang ini yang harus diperjelas maksudnya.
Jika melihat Pasal 33 UU KIP tersebut, maka tidak dapat diketahui bagaimana mekanisme pengangkatan kembali anggota Komisi Informasi. Hal ini karena mekanisme pengangkatan kembali diatur dalam Pasal 30, 31, dan 32.
Oleh karena itu, untuk memperjelas frasa “dapat diangkat kembali untuk satu periode berikutnya," apakah harus melalui seleksi ulang atau tanpa melalui seleksi ulang, harus dilakukan melalui penafsiran sistematis.
Secara sistematis, posisi Pasal 33 berada dalam satu kesatuan Bagian Kedelapan: Pengangkatan dan Pemberhentian dari Bab VII tentang Komisi Informasi. Hal ini berarti bahwa Pasal 33 UU KIP harus dibaca secara sistematis dalam kerangka Bagian Kedelapan tersebut, yaitu dibaca secara utuh bersama Pasal 30, 31, dan 32. Dengan demikian, untuk dapat dapat diangkat kembali sebagaimana diatur Pasal 33, anggota Komisi Informasi harus melalui tahapan seleksi sebagaimana diatur Pasal 30, 31, dan 32.
Secara historis, perdebatan Pasal 33 ini tidak ditemukan, sehingga pembacaan Pasal 33 ini cukup dilakukan dengan metode penafsiran gramatikal dan sistematis.
D. Pasal 33 UU KIP: “Hak” Anggota Komisi Informasi (incumbent) yang Lolos Seleksi Sebagaimana Diatur Pasal 30, 31, dan 32.
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian C, bahwa untuk dapat diangkat menjadi anggota Komisi Informasi, harus telah dinyatakan lolos seleksi sebagaimana diatur Pasal 30, 31, dan 32 UU KIP. Ketentuan ini berlaku, baik bagi incumbent maupun calon baru. Dengan demikian, Pasal 33 ini merupakan “Hak” anggota Komisi Informasi yang lolos seleksi sebagaimana diatur Pasal 30, 31, dan 32.
Tulisan ini digunakan FOINI sebagai salah satu materi gugatan terhadap Gubernur Gorontalo di PTUN Manado.

Comments