Jalan (Masih) Panjang Mewujudkan Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia

A. Pendahuluan

Advokasi lahirnya UU KIP tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang perjuangan koalisi masyarakat sipil di Indonesia untuk mewujudkan keterbukaan informasi publik di Indonesia. Perjuangan panjang ini kemudian mendapatkan hasil ketika 30 April 2008 Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono mengesahkan UU KIP dan efektif berlaku pada 1 Mei 2010. Empat tahun efektif berlaku, keterbukaan informasi publik sebagaimana diharapkan masyarakat sipil masih jauh dari harapan, masih banyak “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan. Berbagai pekerjaan rumah tersebut antara lain: belum semua badan publik melaksanakan mandat hukum UU KIP, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum tahu dan belum memanfaatkan UU KIP dalam meminta informasi, permasalahan kapasitas komisioner Komisi Informasi, permasalahan independensi Komisi Informasi. Oleh karena itu, koalisi masyarakat sipil harus mendorong advokasi di tiga tingkatan, yaitu: supply side,demand side,dan Komisi Informasi.

B. Jalan Panjang Advokasi Lahirnya UU KIP

Perdebatan panjang mengenai arti penting informasi sudah lama berlangsung di sejumlah negara. Di Swedia, sejak abad ke-17, sejumlah tokoh penting di Swedia sudah memikirkan arti penting adanya jaminan hukum bagi rakyat untuk mendapatkan informasi yang dikuasai penyelenggara negara.[1]Tujuannya agar rakyat bukan hanya tahu informasi yang berada dalam penguasaan pemerintah, tetapi juga supaya rakyat bisa ikut mengontrol jalannya pemerintahan.

Dalam konteks Indonesia, ketika advokasi Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (UU KMIP) dimulai pada tahun 2000, perjuangan untuk mewujudkan adanya jaminan hak atas informasi masih belum menjadi isu utama. Perdebatan di media masih penuh dengan perjuangan kalangan organisasi non pemerintah menuntut hak atas pekerjaan, hak untuk mendapatkan kebebasan berpolitik, jauh dari penyiksaan maupun tuntutan adanya peradilan yang fair.[2]Namun demikian, wacana tentang kebebasan untuk mendapatkan informasi telah muncul sejak lama, dan mulai dibicarakan lebih dalam pada akhir 1980-an.

Pada tahun 1988, WALHI mengajukan gugatan terhadap PT. Inti Indorayon Utama (PT. IIU), Menteri Perindustrian, Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Gubernur Provinsi Sumatera Utara, di mana salah satu poin gugatannya adalah penerapan hak atas informasi.[3]Namun demikian, poin gugatan ini ditolak, karena Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 4/1982) tidak mengatur mengenai jaminan hak atas informasi. Gugatan ini kemudian mendasari upaya untuk memasukkan jaminan hak atas informasi dalam revisi UU 4/1982, yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 23/1997).[4]

Layaknya efek domino, pengakuan hak atas informasi dalam UU 23/1997 memberikan inspirasi bagi aktivis lingkungan hidup dan hak asasi manusia (HAM) untuk mengembangkan lebih jauh pengakuan hak atas informasi tidak hanya terbatas pada aspek pengelolaan lingkungan hidup. Bak gayung bersambut, Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 mencantumkan Sasaran Program Pengembangan Informasi, Komunikasi dan Media Massa, yaitu terwujudnya kesadaran dan kedewasaan berpolitik masyarakat melalui pertukaran arus informasi yang bebas dan transparan, serta adanya mekanisme kontrol politik yang lebih terbuka.[5]Kemudian pada tahun 2001, muncul Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (TAP MPR No. VIII/2001). Pasal 2 poin 6 TAP MPR No. VIII/2001 menyebutkan arah kebijakan sebagai berikut:

Membentuk undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang muatannya meliputi… d. Kebebasan Mendapatkan Informasi; …”

Pada 8 September 2000, sebelum lahirnya TAP MPR No. VIII/2001, Indonesian Center for Environmental Law(ICEL) mengeluarkan draftawal Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi (RUU KMI) yang berisi 37 pasal. Draftawal RUU KMI ini kemudian dikembangkan bersama Koalisi untuk Kebebasan Informasi[6]menjadi 58 pasal pada 4 Juli 2001.[7]RUU KMI yang disusun Koalisi untuk Kebebasan Informasi ini mendorong 10 (sepuluh) prinsip penting kebebasan memperoleh informasi, yaitu:[8]

Prinsip 1:

UU KMI sebagai “payung” atau penyelaras bagi seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan akses informasi publik.

Prinsip 2:

UU KMI memberikan jaminan terhadap kelima jenis hak atas informasi: (1) hak untuk mengetahui (right to know); (2) hak untuk melihat dan memeriksa (right to inspect); (3) hak untuk mendapatkan kopi atau salinan dokumen atau akses pasif (right to obtain the copy); (4) hak untuk diinformasikan atau akses aktif (right to be informed); (5) hak untuk menyebarluaskan informasi (right to disseminate).

Prinsip 3:

Informasi publik merupakan hak setiap orang, sehingga tidak memerlukan alasan bagi sebuah permintaan.

Prinsip 4:

Akses maksimal dengan pengecualian terbatas (maximum access limited exemption) yang diwujudkan melalui: (1) pemberlakuan pengecualian harus didasarkan pada asas kehati-hatian dengan menggunakan metode uji konsekuensi (consequential harm test) dan uji menimbang kepentingan publik yang lebih besar (balancing public interest test); (2) pemberlakuan status kerahasiaan terhadap informasi mempunyai batas waktu (tidak bersifat permanen); dan (3) ruang lingkup badan publik (penyedia akses informasi) tidak terbatas pada institusi negara (state institutions), tetapi institusi di luar negara yang mendapatkan serta menggunakan anggaran negara (terkait dengan pengaktualisasian prinsip akuntabilitas publik.

Prinsip 5:

Akses horisontal (akses sesama institusi publik) sama pentingnya dengan akses vertikal (akses masyarakat terhadap institusi publik).

Prinsip 6:

Akses informasi harus bersifat murah, cepat, utuh, akurat, dapat dipercaya, dan tepat waktu.

Prinsip 7:

Kewajiban institusi publik memiliki sistem pengelolaan informasi beserta pelayanan publiknya yang baik.

Prinsip 8:

Penyelesaian sengketa secara cepat, murah, kompeten, dan independen melalui proses konsensual maupun adjudikatif.

Prinsip 9:

Ancaman hukuman bagi pihak-pihak yang menghambat akses informasi.

Prinsip 10:

Dalam rangka prinsip otonomi, daerah dimungkinkan memiliki kebijakan tentang kebebasan memperoleh informasi yang sifatnya lebih progresif dari UU KMI dalam menerjemahkan prinsip-prinsip penting (9 prinsip di atas) dalam UU KMI.

Upaya Koalisi untuk Kebebasan Informasi dalam mendorong lahirnya UU KMI dilakukan melalui berbagai kegiatan, seperti drafting pasal-pasal dalam RUU KMI, studi banding ke sejumlah negara, diskusi di berbagai kota, melakukan lobi dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) –baik melalui jalur Badan Legislatif (Baleg), komisi, fraksi-fraksi, maupun unsur pimpinan. Berbagai upaya ini kemudian membuahkan hasil. Pada 23 Februari 2001, Rapat Pleno Baleg DPR, menyetujui pembentukan Panitia Kerja (Panja) RUU KMI.[9]Dua bulan setelah dibentuk, Panja RUU KMI aktif melakukan sosialisasi ke sejumlah daerah untuk mendapatkan masukan dan mengadakan diskusi dengan sejumlah pakar untuk melakukan penyempurnaan draft RUU KMI.[10]Pada 19 Oktober 2001, draft RUU KMI disepakati sebagai RUU inisiatif DPR, dan pada November 2001 RUU KMI disampaikan kepada pimpinan DPR oleh 29 anggota DPR dari berbagai fraksi. RUU ini kemudian mendapat dukungan dari fraksi-fraksi besar di DPR, yaitu Fraksi PDI-P, Fraksi Golkar, Fraksi PPP, Fraksi PKB, dan Fraksi Reformasi. Dan pada 20 Maret 2002, DPR menyetujui RUU KMI sebagai sebagai RUU Inisiatif DPR.[11]Seiring dengan disetujuinya RUU KMI sebagai RUU Inisiatif DPR, pemerintah menyusun RUU “tandingan” yang diinisiasi oleh Menteri Negara Komunikasi dan Informatika bersama Lembaga Informasi Negara atas Izin Prakarsa Presiden Megawati Soekarnoputri pada 7 Desember 2002.[12]

Namun demikian, pembahasan RUU KMI tidak dilakukan, karena hingga akhir masa jabatannya di tahun 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri tidak mengeluarkan Amanat Presiden (Ampres) yang menunjuk wakil pemerintah untuk membahas RUU KMI. Ampres pembahasan RUU KMI baru dikeluarkan pada masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), tepatnya pada tanggal 19 Oktober 2005.[13]Meskipun demikian, Program Legislatif Nasional (Prolegnas) 2004-2009 hanya menempatkan RUU KMI pada urutan ke-9 di bawah RUU Rahasia Negara dan RUU Intelijen, sebuah RUU yang dianggap akan mengancam terwujudnya pemerintahan yang terbuka.

Meskipun RUU KMI baru mendapatkan Ampres pada 19 Oktober 2005 dan ditempatkan pada urutan ke-9 Prolegnas di bawah RUU Rahasia Negara dan RUU Intelijen, tetapi semangat keterbukaan informasi yang diusung RUU KMI justru terimplementasi lebih dahulu di banyak daerah dalam kurun waktu 2004-2005 melalui lahirnya peraturan daerah tentang transparansi dan partisipasi. Beberapa daerah yang memiliki perda transparansi dan partisipasi antara lain: Kabupaten Solok, Kabupaten Lebak, Kabupaten Bandung, Kabupaten Magelang, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Boalemo, Kabupaten Bolaang Mongondo, Kabupaten Takalar, Kota Gorontalo, Kota Kendari, dan Provinsi Kalimantan Barat.[14]Selain itu, di beberapa daerah seperti Banda Aceh, Cirebon, Denpasar, Lombok Barat, Flores Timur, Maluku Utara, Samarinda, dan Kendari telah terjadi dinamika positif untuk mengidentifikasi kebutuhan pengembangan kapasitas untuk mengaktualisasikan akses informasi, termasuk meningkatkan kapasitas access’s demand,dan kapasitas partisipasi dalam penyusunan kebijakan publik, dan kemampuan legal drafting.[15]

Berikut ini tabel yang menunjukkan berbagai kabupaten/kota/provinsi yang telah memiliki Perda tentang transparansi dan partisipasi.[16]

No

Daerah

Perda

1

Kota Kendari

Perda No. 14 Tahun2003 tentang Kebebasan Memperoleh Informasi

2

Kabupaten Bandung

Perda No. 06 Tahun 2004 tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Kabupaten Bandung

3

Kabupaten Magelang

Perda No. 10 Tahun 2004 tentang Mekanisme Konsultasi Publik

4

Kabupaten Solok

Perda No. 5 Tahun 2004 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan dan Partisipasi Masyarakat

5

Kabupaten Lebak

Perda No. 10 Tahun 2004 tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pengelolaan Pembangunan di Kabupaten Lebak

6

Kabupaten Kebumen

Perda No. 53 Tahun 2004 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Kebijakan Publik

7

Kabupaten Boalemo

Perda No. 06 Tahun 2004 tentang Transparansi Pelayanan Publik dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Kabupaten Boalemo

Perda No. 07 Tahun 2004 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pembangunan dan Proses Kebijakan Publik

8

Kabupaten Gorontalo

Perda No. 03 Tahun 2005 tentang Transparansi Penyelenggaraan Kabupaten Gorontalo

9

Kabupaten Bolaan Mongondo

Perda No. 04 Tahun 2005 Partisipasi Masyarakat dan Proses Pengambilan Kebijakan Publik

Perda No. 05 Tahun 2005 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

10

Provinsi Kalimantan Barat

Perda No. 04 Tahun 2005 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat

11

Kabupaten Tanah Datar

Perda No. 02 Tahun 2005 tentang Transparansi dan Partisipasi

12

Kabupaten Lamongan

Perda No. 07 Tahun 2005 tentang Transparansi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Partisipasi Masyarakat di Kabupaten Lamongan

13

Kabupaten Takalar

Perda No. 02 Tahun 2005 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan di Kabupaten Takalar

Akhirnya, pada 7 Maret 2006, RUU KMI secara resmi mulai dibahas DPR bersama dengan pemerintah. Dalam pembahasan pertama tersebut, pemerintah memberikan pandangan umum sebagai berikut: pertama,menyatakan bahwa RUU KMI merupakan hal yang diperlukan karena sejalan dengan Pasal 28F Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Namun demikian, RUU KMI tidak boleh mencederai hak-hak pribadi dan hak asasi manusia pada umumnya, efektifitas pelaksanaan pemerintahan, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan ancaman global yang mungkin timbul akibat adanya UU KMI. Oleh karena itu, penting untuk terlebih dahulu membuat regulasi yang mengatur pengecualian informasi, sehingga memberi kepastian mengenai informasi yang terbuka dan dikecualikan. Hal ini karena RUU KMI inisiatif DPR memiliki prinsip bahwa semua informasi pada dasarnya dapat diakses kecuali yang ditetapkan sebagai dikecualikan. Kedua,mengubah judul RUU KMI disesuaikan dengan Pasal 28 F UUD NRI 1945, menjadi Rancangan Undang-Undang untuk Memperoleh Informasi Publik.Ketiga,definisi badan publik harus mencakup eksekutif, legislatif, yudikatif, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, partai politik, dan termasuk pula organisasi masyarakat sipil (OMS).Keempat,pemberlakuan RUU KMI dilakukan 5 (lima) tahun pasca-disahkan untuk memberi waktu bagi pemerintah dalam menyiapkan sistem, perangkat dan infrastruktur, serta sumber daya manusia. Kelima,penyelesaian sengketa informasi dilakukan oleh Ombudsman, sehingga tidak perlu membentuk Komisi Informasi.

Terhadap pandangan umum pemerintah, pada 13 Maret 2006, Koalisi untuk Kebebasan memperolehinformasi memberikan catatan kritis sebagai berikut: pertama,pemerintah menerapkan standar ganda, di satu sisi pemerintah mengakui pentingnya RUU KMI karena sejalan dengan pasal 28F, tetapi pemerintah menginginkan adanya peraturan mengenai informasi yang dikecualikan sebelum adanya UU KMI. Kedua,pemerintah tidak secara jeli melihat rumusan RUU KMI, di mana di dalamnya telah mengatur secara jelas mengenai informasi yang dikecualikan, sehingga kekhawatiran pemerintah bahwa RUU KMI akan melanggar hak-hak pribadi seseorang, keutuhan NKRI, dan lain sebagainya seharusnya tidak perlu ada. Ketiga,keinginan pemerintah yang meminta pemberlakuan RUU KMI dilakukan 5 (lima) tahun pasca-disahkan untuk memberi waktu bagi pemerintah dalam menyiapkan sistem, perangkat dan infrastruktur, serta sumber daya manusia dinilai terlalu lama. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah masih enggan melaksanakan pemerintahan yang terbuka melalui UU KMI.

Perdebatan panjang selama 8 tahun advokasi RUU KMI akhirnya menemui titik akhir setelah pada 30 April 2008 Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono mengesahkannya menjadi Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dan akan efektif berlaku 2 (dua) tahun sejak diundangkan, yaitu pada 1 Mei 2010.

C. Jalan (Masih) Panjang Implementasi UU KIP: Pekerjaan Rumah yang (Masih) Harus Diselesaikan

Disahkannya UU KIP pada 30 April 2008 telah membawa perubahan paradigma yang cukup berarti pada implementasi keterbukaan informasi publik di Indonesia dibandingkan dengan sebelum adanya UU KIP. Berikut perbandingan perubahan paradigma sebelum dan setelah disahkannya UU KIP.

Aspek

Sebelum UU KIP

Setelah UU KIP

Fokus badan publik

Mengindentifikasi informasi yang boleh diberikan (positive list).

Mengidentifikasi informasi yang dikecualikan (negative list), dengan pengecualian yang terbatas.

Kepastian layanan

Tidak ada prosedur baku dan batasan waktu pelayanan informasi.

Ada prosedur baku dan batas waktu pelayanan informasi.

Kepastian pelaksana

Tidak ada pelaksana khusus di badan publik untuk melakukan pengelolaan dan pelayanan informasi.

Ada pelaksana khusus di badan publik untuk melakukan pengelolaan dan pelayanan informasi, yaitu PPID.

Kepastian hukum

Tidak ada sanksi bagi pihak-pihak yang menghambat masyarakat dalam memperoleh informasi.

Ada sanksi bagi yang menghambat masyarakat memperoleh informasi, serta sanksi bagi setiap orang yang menyalahgunakan informasi.

Akuntabilitas layanan

Tidak ada prosedur komplain dan gugatan ketika masyarakat mendapatkan hambatan dalam memperoleh informasi publik.

Ada prosedur komplain dan gugatan ketika masyarakat mendapatkan hambatan dalam memperoleh informasi publik, yaitu melalui mekanisme keberatan di internal badan publik, penyelesaian sengketa informasi di Komisi Informasi dan pengadilan.

Kemudian dari sisi penggunaan UU KIP sebagai salah satu instrumen advokasi oleh OMS juga telah memperlihatkan hasilnya. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 poin 6 TAP MPR No. VIII/2001 bahwa pembentukan UU KIP merupakan salah satu sarana dalam mempercepat pemberantasan dan pencegahan korupsi.

Membentuk undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang muatannya meliputi… d. Kebebasan Mendapatkan Informasi; …”

Dalam implementasinya, Indonesian Corruption Watch (ICW) dan FITRA menggunakan UU KIP ini untuk mengadvokasi transparansi pengelolaan dan pelaksanaan anggaran badan publik pemerintah, baik ditingkat pusat dan daerah. Advokasi dilakukan dengan mengajukan permintaan informasi mengenai DIPA-RKA badan publik, laporan keuangan badan publik pemerintah. Bahkan ICW menggunakan UU KIP untuk meminta informasi laporan keuangan partai politik besar di Indonesia (PDI-Perjuangan, Partai Demokrat, Partai Golkar, PAN, PKB, dll), selain itu ICW juga meminta transparansi rekening 17 perwira tinggi Kepolisian Republik Indonesia.

Namun demikian, meskipun secara paradigma telah terjadi perubahan pasca UU KIP disahkan, dan beberapa kalangan OMS yang telah menggunakan UU KIP untuk memperoleh informasi, tetapi perjuangan Koalisi untuk Kebebasan Informasi–sejak 2008 lebih dikenal dengan Koalisi Freedom of Information Network Indonesia(FOINI) dalam mewujudkan keterbukaan informasi publik di Indonesia belumlah selesai. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, seperti: (1) memastikan UU KIP tersosialisasikan ke seluruh pelosok Indonesia; (2) mengawal badan publik melaksanakan kewajiban pengelolaan dan pelayanan informasi sebagaimana diamanatkan UU KIP; (3) memastikan munculnya demandmasyarakat akan informasi melalui pelaksanaan jaminan hak atas informasi yang diatur dalam UU KIP; dan (4) mendorong, mengawal pembentukan Komisi Informasi, serta memperkuat kelembagaannya.

Beberapa data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Komisi Informasi Pusat, dan FOINI menunjukkan bahwa implementasi UU KIP masih jauh dari yang diharapkan. Pertama,dari sisi implementasi UU KIP oleh badan publik, Data Ditjen IKP-Kominfo, 17 Desember 2013 menunjukkan bahwa badan publik di seluruh Indonesia yang telah membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) baru sekitar 39,83%. Rincian sebagai berikut:

No

Badan Publik

Jumlah

Telah Membentuk PPID

Persentase

1

Kementerian

34

34

100%

2

LPNK/LNS/LPP

129

36

27,91%

3

Provinsi

33

24

72,73%

4

Kabupaten

399

146

36,59%

5

kota

98

36

36,73%

 

 TOTAL

693

276

39,83%

Dapat dilihat dari tabel di atas bahwa ketaatan badan publik untuk membentuk PPID masih rendah, yaitu 39,83%. Presentase ini menunjukkan bahwa tingkat ketaatan PPID masih jauh dari yang diharapkan. Data ini belum termasuk badan publik non-negara (LSM, parpol, dll) yang perkembangan penerapan UU KIP-nya tidak dicatat dalam rekapitulasi Ditjen IKP-Kominfo ini. Selain itu, data rekapitulasi ini masih sebatas pembentukan PPID, yang belum memasukkan indikator lain, seperti penyusunan standar operasional prosedur (SOP) pengelolaan dan pelayanan informasi, penyusunan daftar informasi, laporan pelaksanaan UU KIP, dll. Apabila keseluruhan mandat ini diakumulasikan, maka dapat diperkirakan tingkat ketaatan badan publik dalam melaksanaan UU KIP akan jauh lebih rendah dari tingkat ketaatan untuk membentuk PPID saja.

Kedua,terkait dengan demandmasyarakat dalam meminta informasi menggunakan UU KIP juga masih terbatas oleh OMS. Data sengketa informasi yang diterima Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) menunjukkan bahwa 71% pemohon sengketa informasi merupakan OMS. Rincian data sebagai berikut:[17]

Mencermati data tersebut, maka terlihat bahwa dari total 818 sengketa, total pemohonnya adalah 56 (7%) pemohon yang mengajukan sengketa secara berulang-ulang. Kemudian dilihat dari kategori pemohon sengketa, 71% pemohon merupakan OMS, 25% merupakan pemohon individu, dan 4% pemohon dari unsur kelompok masyarakat. Hal ini berarti bahwa pihak-pihak yang mengetahui dan menggunakan UU KIP untuk memperoleh informasi masih didominasi dari OMS. Sedangkan pemohon informasi dari unsur individu yang cenderung merupakan pengguna informasi yang sebenarnya masih sangat kecil jumlahnya.

Ketiga,terkait dengan pembentukan Komisi Informasi. Untuk KI Pusat, saat ini telah terbentuk KI Pusat periode kedua. Namun demikian, pembentukan KI Provinsi baru terjadi di 24 Provinsi dari 34 Provinsi yang ada di Indonesia. Permasalahan utama yang dihadapi oleh Komisi Informasi adalah kapasitas komisioner Komisi Informasi, kapasitas sekretariat Komisi Informasi, kemandirian anggaran dan kelembagaan Komisi Informasi. Permasalahan-permasalahan ini berpengaruh pada akselerasi pelaksanaan UU KIP.

Berbagai capaian implementasi UU KIP yang masih jauh dari harapan tersebut di atas, FOINI dan simpul jaringannya berusaha –dan masih harus terus berusaha– menyelesaikannya melalui berbagai advokasi, sehingga tercapai kondisi ideal keterbukaan informasi publik. Koalisi FOINI melakukan tiga advokasi yang integratif, yaitu: pertama,advokasi supply side. Advokasi ini dilakukan dengan memberikan asistensi teknis kepada badan publik, baik sosialisasi, pelatihan, pembentukan PPID, penyusunan SOP pengelolaan dan pelayanan informasi, penyusunan daftar informasi publik, dan lain-lain. Kedua,advokasi demand side. Advokasi ini dilakukan dengan melakukan permintaan informasi maupun mendorong lahirnya demandmasyarakat untuk meminta informasi menggunakan mekanisme yang diatur dalam UU KIP maupun Peraturan Komisi Informasi. Ketiga,advokasi Komisi Informasi. Advokasi ini dilakukan dengan melakukan pengawalan maupun asistensi Komisi Informasi, baik pusat maupun provinsi, dalam melaksanakan tugas, tanggung jawab, dan wewenang Komisi Informasi.

Ketiga advokasi di atas dilakukan secara integratif yang melibatkan OMS maupun masyarakat secara individu. Selain itu, dengan adanya inisitifOpen Government Partnership(OGP) yang diinisiasi oleh Unit Kerja Pemerintah Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), OMS memanfaatkan inisiatif OGP tersebut untuk mengakselerasi keterbukaan informasi publik di seluruh Indonesia. Melalui OGP pula, Kominfo, Kementerian Dalam Negeri, Komisi Informasi Pusat, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Pattiro, ICEL, Seknas Fitra, dan Transparansi Internasional Indonesia bersinergi dalam mendorong transparansi di Indonesia.

Tulisan ini dimuat dalam Buku: Melawan Korupsi – Dari Advokasi Hingga Pemantauan Masyarakat, yang diterbitkan oleh Transparansi Internasional Indonesia.

Catatan Kaki

[1]. Sudirman, Aa, et. all., Kebebasan Informasi di Beberapa Negara, Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Tanpa Tahun. Hal. 3-4.

[2] Ibid.

[3] Santosa, Mas Achmad, Aktualisasi Kebebasan Informasi di Indonesia, Sebuah Perjalanan Panjang dan Mendaki, dalam buku “Melawan Ketertutupan Informasi, Menuju Pemerintahan Terbuka.” Tahun: 2003. Hal. xvi.

[4] Ibid.

[5] Ma’mun, A. Saefudin, Citra Indonesia di Mata Dunia, Gerakan Kebebasan Informasi dan Diplomasi Publik, AIPI Bandung, 2009. Hal. 157.

[6] Koalisi untuk Kebebasan Informasi resmi terbentuk pada Desember 2000 yang terdiri dari 38 anggota dari organisasi masyarakat sipil, yaitu: Aliansi Jurnalis Independen, Bina Desa, CETRO, DESANTARA, Forum LSM Yogya, Forum Rektor-YPSDM, Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi (GANDI), Indonesian Conference in Religion and Peace (ICRP), Indonesian Corruption Watch (ICW), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Institut Studi Arus Informasi, Indonesia Media Law and Policy Center (IMLPC), KIPPAS Medan, Komite Peduli Otonomi Daerah (KPOD), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Lakpesdam NU, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Medan, Lembaga Bantuan Hukum Semarang, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), LSPS Surabaya, Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHKI), Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), South East Asian Press Alliance (SEAPA), Voice Center, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), Yayasan Sains Estetika dan Teknologi Komunitas Televisi Publik Indonesia. Selain anggota dari organisasi masyarakat sipil, Koalisi juga berasal dari anggota individual, seperti Prof. Koesnadi Hardjasoemantri (Guru Besar Fakultas Hukum UGM), Atmakusumah (Ketua Dewan Pers), serta Komisi Hukum Nasional, sebuah organisasi pemerintah yang fokus pada pembaruan hukum nasional.

[7] Santosa, Mas Achmad, op. cit., Hal. xiv-xv.

[8] Ibid. Hal. xvi.

[9] Subagiyo, Henri, et. all., Anotasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Komisi Informasi Pusat: 2009. Hal. 8.

[10] Ibid.

[11] Sastro, Dhoho A., et all, Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, LBH Masyarakat: 2010. Hal. 2.

[12] Santosa, Mas Achmad, op. cit. Hal. xx.

[13] Sastro, Dhoho A., et all, op. cit. Hal. 2.

[14] Ma’mun, A. Saefudin, op. cit. Hal. 159-160.

[15] Santosa, Mas Achmad, op. cit. Hal. xxvii.

[16] Ma’mun, A. Saefudin, op. cit. Hal. 159-160.

[17] Prayitno, Dessy Eko, et. all, Catatan Masyarakat Sipil terhadap Kinerja Komisi Informasi Pusat Periode 2009-2013, Indonesian Parliamentary Center: 2013. Hal. 20-21.

Referensi

Aa Sudirman, et. all., Kebebasan Informasi di Beberapa Negara, Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Tanpa Tahun.

Mas Achmad Santosa, Aktualisasi Kebebasan Informasi di Indonesia, Sebuah Perjalanan Panjang dan Mendaki, dalam buku “Melawan Ketertutupan Informasi, Menuju Pemerintahan Terbuka.” Tahun: 2003.

Saefudin Ma’mun, A. Citra Indonesia di Mata Dunia, Gerakan Kebebasan Informasi dan Diplomasi Publik, AIPI Bandung, 2009.

Henri Subagiyo, et. all., Anotasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Komisi Informasi Pusat: 2009.

Dhoho A. Sastro, et all, Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, LBH Masyarakat: 2010.

Dessy Eko Prayitno, et. all, Catatan Masyarakat Sipil terhadap Kinerja Komisi Informasi Pusat Periode 2009-2013, Indonesian Parliamentary Center: 2013.

Comments