Intelektual

Siapakah intelektual[1] itu? Sepertinya pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Bukan kesulitan untuk memberi definisi kepada intelektual, melainkan terlalu banyaknya definisi yang diberikan kepada intelektual.

Julien Benda, seorang filsuf berkebangsaan Perancis, memberi definisi intelektual sebagai segelintir manusia sangat berbakat, yang diberkahi moral filsuf raja, yang senantiasa membangun kesadaran umat manusia, mencipta tatanan dalam masyarakat, dan tidak pernah mengabaikan panggilan atas fungsi intelektual mereka, serta menolak untuk mengkompromikan prinsip-prinsip mereka.

Intelektual, menurut Benda lagi, adalah para ilmuwan, filsuf, seniman, dan ahli metafisika yang mendapat kepuasan dalam penerapan ilmu pengetahuan, bukan dalam penerapan hasil-hasilnya. Kepuasan intelektual sejati terletak pada implementasi seni atau ilmu pengetahuan atau spekulasi metafisik, bukan pada pencapaian tujuan praktis. Oleh karena itu, intelektual sejati selalu menentang keawaman, yaitu manusia kebanyakan yang terpikat oleh materi, pencapaian pribadi, dan bersekutu dengan kekuatan sekuler. Intelektual sejati, menurut Benda, akan dan selalu berseru, “kerajaanku bukanlah di dunia ini.”

Benda menambahkan bahwa intelektual sejati harus senantiasa bersentuhan dengan lingkungannya, mereka bukanlah pemikir manara gading, yang terlalu pribadi, yang mencipta hal yang sulit dimengerti. Intelektual sejati tetap dengan jati dirinya, digerakkan oleh dorongan metafisis dan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan sejati. Mereka memerangi korupsi, melindungi si lemah, menentang otoritas yang menyimpang dan zalim, serta senantiasa berada berseberangan dengan status quo.

Antonio Gramsci, seorang Marxis berkebangsaan Italia, membagi intelektual ke dalam dua kategori: pertama,intelektual tradisional semacam guru, ulama, dan para administrator yang secara terus-menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi. Kedua, intelektual organik, yaitu kalangan yang berhubungan langsung dengan kelas atau perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan mereka untuk berbagai kepentingan, serta untuk memperbesar kekuasaan atau kontrol. Intelektual organik selalu aktif bergerak dan berbuat dalam masyarakat, mereka senantiasa berupaya mengubah pikiran dan memperluas pasar. Secara sederhana Gramsci ingin mengatakan bahwa intelektual organik berpihak pada kelasnya atau memilih dan merekonstruksi kelas yang menjadi obyek kepentingan politiknya.

Apabila dikomparasikan, antara Benda dengan Gramsci, maka konsep intelektual Gramsci-lah yang cenderung dekat dengan realitas masyarakat modern sekarang ini. Apa yang dikonsepsikan Benda atas intelektual terlalu ideal. Menurut Benda, intelektual sejati harus senantiasa menolak gairah-gairah awam –pemuasan kepentingan dan/atau kesombongan.[2] Apabila melihat realitas modern sekarang ini, sulit dan bahkan mustahil bagi individu intelektual untuk menolak daya tarik awam. Dihadapkan dengan daya tarik awam, individu intelektual akan memiliki kecenderungan untuk mengkhianati intelektualitas mereka, mengkhianati prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan sejati. Sedangkan apabila melihat konsepsi intelektual Gramsci, maka definisi intelektual dapat disematkan kepada setiap individu –baik ia penyiar, akademisi profesional, analis komputer, pengacara, konsultan manajemen, ahli kebijakan, penasehat pemerintah, analis pasar, mereka semua adalah intelektual (organik) dalam pandangan Gramsci.

Edward W. Said memberi definisi intelektual sebagai individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan, mengekspresikan, dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap, filosofi, dan pendapatnya kepada publik. Apa yang diungkapkannya kepada publik ditujukan untuk menggugah rasa kritis publik, sehingga mereka berani menghadapi ortodoksi dan dogma, baik yang religius maupun yang politik.

Intelektual, menurut Said lagi, harus merupakan pencipta sebuah bahasa yang mengatakan yang benar kepada yang berkuasa, entah sesuai atau tidak dengan pikiran-pikiran pihak yang berkuasa. Karena itu, ia cenderung ke oposisi daripada ke akomodasi. Ia hendaknya jangan sekali-kali mengabdi kepada mereka yang berkuasa. Intelektual tidak dapat menjadi milik siapa-siapa. Ia boleh solider dengan kelompoknya, tetapi selalu dengan kritis. Berhadapan dengan khalayaknya, ia pertama-tama tidak mau membuat mereka puas, melainkan menantang mereka. Ia harus senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadilan sejati, dengan demikian ia memiliki kecenderungan untuk tidak menjual diri pada pihak mana pun. Ia pada hakekatnya berjuang sendirian. Di samping itu, pembelaan terhadap keadilan manusiawi dasar, ia lakukan bagi siapa saja, tidak hanya secara selektif bagi mereka yang didukung oleh orang-orang yang berada di pihaknya, di budayanya, dan di bangsanya.

Said juga menambahkan bahwa dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan, tetapi menghindari mengatakannya.

Noam Chomsky, intelektual asal Amerika Serikat, mengatakan bahwa seorang intelektual akan senantiasa berada dalam posisi mengungkap kebohongan-kebohongan pemerintah, menganalisa tindakan-tindakannya sesuai penyebab, motif-motif serta maksud-maksud yang sering tersembunyi. Chomsky mengkritik apa yang ia sebut sebagai “keulamaan sekuler,” yaitu para intelektual yang tugasnya menyiapkan dasar legitimasi untuk kebijakan negara, sehingga membuat tindakan negara tampak bagus dan terpercaya. Keberpihakan kaum intelektual, menurut Chomsky, hanya kepada kaum lemah yang tak terwakili, proletar.

Melihat konsepsi-konsepsi intelektual di atas, maka sulit untuk menetapkan bahwa seorang intelektual harus senantiasa berada di luar kekuasaan –kecuali pada intelektual organik Gramsci. Perdebatan akan selalu berkutat pada dua kutub: pertama, mendukung keterlibatan intelektual dalam kegiatan politik praktis (kekuasan). Kedua,mengharamkan keterlibatan intelektual dalam kegiatan politik praktis.

Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa intelektual pasti terlibat dalam kegiatan politik praktis. Hal ini seperti diungkapkan oleh Jean Genet, “pada saat Anda mempublikasikan esai kepada masyarakat, Anda telah memasuki kehidupan politik. Jadi, apabila tidak ingin politis, jangan menulis esai atau berbicara.”[3] Artinya bahwa, intelektual untuk dapat melaksanakan fungsi intelektualnya, maka harus berpolitik. Dengan kata lain, seperti diungkapkan Said, “kaum intelektual yang mengklaim hanya menulis untuk dirinya sendiri, atau hanya untuk belajar semata, tidaklah dipercaya dan harus tidak dipercaya.”[4] Dengan demikian, politik praktis adalah salah satu cara bagi intelektual untuk melaksanakan fungsi intelektualnya.

Intelektual yang terlibat dalam politik praktis tidak dapat dikatakan menghianati fungsi intelektual mereka. Intelektual dikatakan menghianati fungsi intelektualnya apabila dalam berpolitik praktis memiliki tujuan untuk memenangkan suatu gairah awam.

Catatan Kaki

[1] Kata intelektual dikenal kali pertama ketika disiarkannya Manifeste des Intellectuels pada 14 Januari 1898. Manifeste ini memprotes proses Albert Dreyfus, seorang perwira tentara Perancis yang pada tahun 1894 diadili atas tuduhan menjual rahasia militer kepada para agen Jerman. Manifeste ini memiliki dua arti penting. Pertama, Manifeste ini telah menciptakan suatu aristokrasi baru dengan mengangkat para pengarang, ilmuwan, profesor, dan filolog (ilmuwan bahasa dan perkembangannya) ke tingkat manusia super yang sebelumnya tempat mereka adalah di dalam laboratorium dan perpustakaan. Kedua, menjadikan intellectuels juga merupakan kata benda, di mana sebelumnya hanya merupakan kata sifat.

[2] Benda mengatakan bahwa gairah-gairah awan pada prinsipnya dikembalikan pada dua kemauan dasar: pertama, kepentingan. Kemauan bagi sekelompok orang untuk merebut atau mempertahankan harta duniawi, seperti wilayah, kesejahteraan berupa benda, kekuasaan politik dengan keuntungan-keuntungan duniawi yang terkandung di dalamnya. Kedua, kesombongan. Kemauan bagi sekelompok orang untuk merasa diri khas, merasa diri lain dibandingkan dengan orang lain, seperti misalnya rasa nasionalisme.

[3] M. Fadjroel Rahman, “Penghianatan Cendekiawan,” (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/25/opini/ 1041218.htm)

[4] Ibid.

Referensi

1. Edward W. Said, Peran Intelektual, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.

2. Julien Benda, Penghianatan Kaum Cendekiawan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999.

3. M. Fadjroel Rahman, “Penghianatan Cendekiawan,” (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/25/opini/1041218.htm)

Juni 2008

Comments