Jaminan Hak Politik Perempuan


Pendahuluan

Indonesia telah meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women (CEDAW)).[1] Namun demikian, ratifikasi tersebut tidak serta merta membuat perempuan dapat menikmati hak-haknya yang dijamin dalam konvensi tersebut. Salah satunya hak politik. Perempuan secara demografis boleh dikastakan seimbang dengan laki-laki, namun secara politis mereka menempati posisi minoritas. Dengan kata lain, hak-hak perempuan masih terpasung di bawah kekuasaan yang patriarkis.

Bagi Indonesia yang memiliki populasi perempuan 51 persen dari seluruh penduduk Indonesia,[2] status yang setara bagi perempuan dan peluang mereka dalam aktivitas-aktivitas politik sesungguhnya telah mendapat dasar yuridis dalam UUD NRI 1945.[3] Perempuan dan laki-laki memiliki kesamaan hak dan kewajiban selaku individu dan warga negara, juga sama-sama mempunyai potensi berkualitas sebagai sumber daya insani yang dapat dimanfaatkan bagi kamajuan bangsa dan negara. Namun, selama ini potensi politik perempuan belum secara optimal digali untuk pembangunan secara menyeluruh.

Perempuan belum menjadi subyek pembangunan, belum dipercaya untuk menjadi pemegang keputusan dalam menetapkan kebijakan publik. Perempuan secara sistematis, dikondisikan untuk tidak berpeluang memikirkan wilayah publik dan mengambil keputusan yang sebenarnya juga menentukan keberlangsungan hidupnya, serta tidak mempunyai posisi sebagai pengambil keputusan bersama untuk sektor publik. Padahal, keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam dunia politik dan kebijakan publik merupakan suatu keharusan, sebab akses, kontrol, dan partisipasi politik perempuan dalam berbagai tingkatan pembuatan dan pengambilan keputusan merupakan hak asasi manusia.

Sedikitnya peran perempuan dalam dunia politik dan kebijakan publik ini dipengaruhi oleh faktor sosial, politik, dan budaya yang direpresentasikan dengan kacamata yang paternalistis. Di samping itu, terkait pula dengan anggapan bahwa kodrat wanita adalah mengurus rumah tangga dan pendidikan anak, sehingga peran wanita dalam politik dan pembangunan tidak mutlak diperlukan. Padahal, kodrat wanita hanya menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui dengan ASI. Selebihnya adalah tugas gender, yaitu tugas laki-laki dan perempuan, di mana tugas gender bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan.

Hak Berpolitik Perempuan Dalam Konvensi Internasional

Hak-hak asasi wanita, bersama dengan hak-hak asasi pria, telah diakui dalam dokumen utama hak-hak asasi manusia sejak berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).[4] Piagam PBB menegaskan keyakinan akan hak-hak asasi manusia yang fundamental dalam persamaan hak-hak asasi pria dan wanita. Dalam pasal 1 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) dinyatakan bahwa “semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak-hak asasi.”[5]

Sebagai warga negara, perempuan Indonesia dijamin memiliki peluang berpartisipasi di dunia publik (politik). Hak itu dijamin secara internasional dalam ICCPR (Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik), CEDAW yang diratifikasi pemerintah Indonesia dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984, Konvensi PBB tentang Hak-hak Politik Perempuan (Convention on Women Political Rights) yang diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-undang Nomor 68 Tahun 1958, Beijing Platform For Action (BPFA) bidang perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan.

Namun, dari konvensi-konvensi yang disebutkan di atas, konvensi utama yang khusus berkenaan dengan status perempuan adalah CEDAW, yang mulai berlaku tahun 1981. CEDAW merupakan konvensi paling komprehensif hingga saat ini, yang mencakup sejumlah besar masalah yang secara langsung berhubungan dengan peranan dan status perempuan.[6] Dengan demikian, CEDAW merupakan dasar untuk menjamin persamaan wanita di negara-negara yang meratifikasinya.

Pasal 7 CEDAW menegaskan bahwa negara wajib membuat peraturan untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan. Dalam pasal 7 ini ditentukan bahwa hak-hak politik perempuan meliputi: hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya, hak untuk memegang jabatan dalam pemerintah dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di segala tingkat, hak berpartisipasi dalam organisasi-organisassi dan perkumpulan-perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara.

Kemudian, dalam pasal 8 CEDAW disebutkan negara harus menjamin kesempatan bagi perempuan untuk mewakili pemerintah di tingkat internasional dan berpartisipasi dalam organisasi-organisasi internasional.

Terhadap hak-hak politik yang disebutkan di atas, CEDAW menyatakan negara memiliki kewajiban: membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan kemasyarakatan atas dasar persamaan dengan laki-laki, membuat peraturan-peraturan yang tepat menjamin adanya kesempatan bagi perempuan untuk mewakili pemerintahan maupun bekerja di tingkat internasional.

Hak Berpolitik Perempuan Dalam UUD NRI 1945 dan Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia

Status yang setara bagi perempuan dan peluang mereka dalam aktivitas-aktivitas politik sesungguhnya telah mendapat dasar yuridis dalam UUD NRI 1945. Pasal 28C ayat 2 menyebutkan, “setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.” Ini berarti, perempuan juga merupakan subjek pembangunan, sehingga berhak atas partisipasi dalam pengambilan keputusan serta menetapkan kebijakan publik dalam rangka mensuksekan pembangunan.

Pasal 28D ayat 3, “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan,” dan pasal 28H ayat 2, “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”[7] Dua pasal ini mengindikasikan bahwa hak-hak politik perempuan tidak hanya terbatas pada kesempatan untuk turut serta dalam memilih dalam pemilu. Lebih dari itu, perempuan juga mempunyai hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya, hak untuk memegang jabatan dalam pemerintah dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di segala tingkat, hak berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara.

Persamaan kedudukan dan aktivitas-aktivitas politik antara laki-laki dan perempuan juga diatur dalam peraturan perundang-undangan di bawah UUD NRI 1945. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal 45 menyebutkan, bahwa sistem pemilu, kepartaian, pemilihan anggota legislatif, sistem pengangkatan bidang legislatif, eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan perempuan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, pasal 65 ayat 1 Tentang Pemilu menyatakan, “setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.” Ini berarti, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 memberikan semacam affirmative action untuk memberi peluang bagi tampilnya para wakil rakyat dari kalangan perempuan.[8] Dalam pemilu 2004 lalu, gerakan perempuan berhasil mendesak melalui jalur perundang-undangan agar keterwakilan perempuan lebih diindahkan, agar peluang dibuka lebih besar bagi perempuan untuk berkompetisi dan menduduki jabatan publik semacam anggota legislatif.[9]

Hak Berpolitik Perempuan Dalam Islam

Salah satu ayat yang sering dikemukakan oleh para pemikir Islam berkaitan dengan hak-hak politik perempuan adalah surat At-Taubah ayat 71, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya’ bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.”

Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerjasama antara lelaki dan perempuan untuk berbagai bidang kehidupan yang ditunjukkan dengan kalimat, “menyuruh mengerjakan yang ma’ruf fan mencegah yang munkar.”

Pengertian kata awliya’ mencakup kerjasama, bantuan, dan penguasaan. Sedangkan pengertian yang terkandung dalam frasa “menyuruh mengerjakan yang ma’ruf” mencakup segala segi kebaikan dan perbaikan kehidupan, ternasuk memberikan nasehat atau kritik kepada penguasa, sehingga setiap lelaki dan perempuan muslim hendaknya mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mampu melihat dan member saran atau nasihat dalam berbagai bidang kehidupan.

Menurut sementara pemikir Islam, sabda Rasulullah yang berbunyi, “barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka.” Hadits ini mencakup kepentingan atau urusan kaum muslimin yang dapat menyempit atau meluas sesuai latar belakang dan tingkat pendidikan seseorang, termasuk bidang politik.

Di sisi lain, Al-Qur’an dalam surat As-Syura ayat 38 juga mengajak umatnya (lelaki dan perempuan) agar bermusyawarah. “Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah.” Ayat ini dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan.

Syura (musyawarah) menurut Al-Qur’an hendaknya merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama, termasuk kehidupan politik. Ini berarti bahwa setiap warga negara dalam hidup bermasyarakat dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah. Sejarah Islam juga menunjukkan betapa kaum perempuan tanpa kecuali terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan.

Al-Qur’an menguraikan permintaan para perempuan di zaman Rasulullah untuk melakukan bai’at (janji setia kepada Rasulullah dan ajarannya), sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Mumtahanah ayat 12. Pakar agama Islam menjadikan bai’at para perempuan ini sebagai bukti kebebasan untuk menentukan pandangan berkaitan dengan kehidupan serta hak untuk memiliki pilihan yang berbeda dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan terkadang berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri.

Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak wanita terlibat pada persoalan politik praktis. Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Rasulullah ketika memberi jaminan keamanan kepada sebagian orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Rasulullah sendiri, yaitu Aisyah, memimpin langsung peperangan melawan Abi bin Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan sebagai kepada negara. Dan isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah suksesi setelah terbunuhnya Khalifah Utsman. Peperangan ini dikenal dalam sejarah Islam dengan nama Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah bersama sekian banyak sahabat Rasulullah dan kepemimpinannya dalam perang itu menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya membolehkan keterlibatan perempuan dalam bidang politik praktis.

Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wakita, mereka memiliki hak untuk bekerja dan menduduki jabatan-jabatan tertinggi, kendati ada jabatan yang oleh sebagian ulama dianggap tidak boleh diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan kepala negara (Al-Imamah Al-Uzhma) dan hakim. Namun, perkembangan masyarakat dari waktu ke waktu mengurangi dukungan larangan tersebut, khususnya persoalan kedudukan perempuan sebagai hakim.

Dalam beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni, ditegaskan bhawa setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkan kepada orang lain atau menerima perwakilan dari orang lain. Atas dasar kaidah ini, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih –bukan hanya sekedar pertimbangan perkembangan masyarakat- kita dapat menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela maupun penuntut dalam berbagai bidang.

Kesimpulan akhir yang dapat ditarik bahwa perempuan adalah syaqaiq ar-rijal (saudara sekandung kaum lelaki), sehingga kedudukan serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama. Kalaupun ada perbedaan hanyalah akibat fungsi dan tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin. Dengan demikian, perbedaan yang ada tidaklah mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan daripada yang lain. Surat An-Nisa ayat 32 berbunyi, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi lelaki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan juga ada bagian dari yang mereka usahakan, dan bermohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya, susungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Tinjauan Hak Berpolitik Perempuan Di Negara-Negara Lain

Partisipasi politik perempuan di Perancis dilaksanakan dengan Parity Law pada tahun 1999. Parity Law yang merupakan amandemen konstitusi ini mensyaratkan setiap parpol menyertakan 50 persen caleg perempuan. Jika sebuah parpol gagal memenuhi kualifikasi itu, pemerintah memberlakukan penalti dalam bantuan keuangan. Pada bulan Maret 2001, pemilu pertama digelar setelah amandemen konstitusi diberlakukan yang menghasilkan peningkatan signifikan dalam representasi perempuan di parlemen. Angka keterwakilan perempuan meningkat hampir dua kali lipat dari 25 persen menjadi 47 persen di tingkat National Assembly (MPR).

Di Argentina, keterwakilan politik perempuan bersifat wajib untuk dipenuhi setiap parpol. Ley de Cupos yang diundangkan pada tahun 1991 mengatur setiap parpol untuk paling tidak memenuhi 30 persen caleg perempuan dalam proporsi yang memiliki kemungkinan untuk terpilih. Karena itu, parpol tidak dibolehkan memuat perempuan di urutan belakang dalam daftar caleg yang diajukan. Bagi parpol yang gagal memenuhi kualifikasi tersebut, akan ditolak berkompetisi dalam pemilu. Sebagai hasil dari produk hukum ini, terjadi kenaikan representasi perempuan di tingkat DPR Argentina, dari 4,6 persen pada tahun 1991 menjadi 21,3 persen pada tahun 1993.

Di negara Skandinavia representasi perempuan di parlemennya mencapai 40 persen. Sebagai contoh, di Swedia pada tahun 1994, Partai Sosial Demokratik Swedia memperkenalkan zipper principle sebagai regulasi internal partai. Prinsip ini mengatur nomor urut yang mengharuskan partai memuat nama kandidat perempuan setelah atau sebelum laki-laki secara bergantian. Apabila nama caleg pertama dalam daftar adalah perempuan, pada urutan kedua adalah laki-laki, selanjutnya perempuan, dan seterusnya berselang-seling.

Penutup

Keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam dunia politik dan kebijakan publik merupakan suatu keharusan, sebab akses, kontrol, dan partisipasi politik perempuan dalam berbagai tingkatan pembuatan dan pengambilan keputusan merupakan hak asasi manusia. Lebih dari itu, hak tersebut juga menentukan keberlangsungan hidupnya.

Namun demikian, dari hak politik perempuan sama sekali belum mengindikasikan kemungkinan keterwakilan gender. Keterwakilan gender adalah keterwakilan politik, di mana kondisi ini ditandai dengan semakin banyaknya politikus yang memiliki kepekaan dan kesadaran akan perlunya hubungan-hubungan sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang adil antara perempuan dan laki-laki.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Institute for Women’s Policy Research di Amerika Serikat yang dipublikasikan bulan Mei 2002 menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara keterwakilan politik perempuan dengan kebijakan yang berpihak kepada perempuan. Artinya, semakin tinggi jaminan hak berpolitik perempuan, semakin tinggi pula kebijakan yang berpihak pada perempuan.

Di Indonesia khususnya, hak berpolitik perempuan telah mendapat legitimasi yuridis di dalam konvensi-konvensi internasional tentang persamaan hak politik perempuan dengan laki-laki. Bahkan dalam UUD NRI 1945, hak politik perempuan juga telah mendapatkan legitimasinya, walaupun tidak secara eksplisit menyebutkannya. Lebih lanjut, hak politik perempuan juga diatur dalam Undang-undang Pemilu, di mana dinyatakan di dalamnya mengenai keterwakilan perempuan dalam pemerintahan.

Hak berpolitik perempuan juga mendapat jaminan oleh Islam. Dalam Islam dinyatakan bahwa perempuan adalah Syaqaiq Ar-Rijal (saudara sekandung kaum lelaki), sehingga kedudukan serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama. Kalaupun ada perbedaan, hanyalah akibat fungsi dan tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin, sehingga perbedaan yang ada tidaklah mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan daripada yang lain.

Catatan Kaki

[1] Indonesia telah meratifikasi CEDAW melalui UU Nomor 7 Tahun 1984.

[2] Andayani, “Efektivitas Kuota Perempuan Dalam Pemilihan Umum,” http://home.snafu.de/watchin/Kompas_19.01.04.htm, 3 Desember 2006.

[3] Lihat pasal 28C ayat 2, 28D ayat 3 dan 28H ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menyatakan, “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

[4] Marianne Haslegrave, “Hak-hak Asasi Wanita: Jalan Ke Masa Bahagia Di Abad Mendatang,” Dalam Hak-Hak Asasi Manusia, Editor: Peter Davies, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), hal. 31.

[5] Ibid.

[6] Ibid., hal. 33.

[7] Lihat Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta: PSHTN FHUI, 2002), Pasal 28D ayat 3 dan 28H ayat 2, hal. 49-51.

[8] Fitra Arsil, “Fenomena Parlemen Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945: Manambah Legitimasi, Memperbesar Fungsi,” Jurnal Konstitusi Vol. 1 No. 2 (2 Desember 2004).

[9] Ibid.

Januari 2008

Comments