Filantropi merupakan gabungan dua kata, philos dan anthropos. Philos berarti cinta, dan anthropos adalah manusia. Jadi, filantropi dapat diartikan sebagai sikap hidup saling berbagi dengan sesama. Berbagi kebahagiaan dan kenikmatan tentunya.
Filantropi dapat dilakukan melalui banyak cara, tidak melulu harus dengan membagi-bagikan harta. Untuk menjadi filantrop, kita tidak harus kaya raya dulu. Banyak hal yang dapat kita lakukan. Cinta kebudayaan, kesehatan, lingkungan hidup, memberantas kemiskinan, memajukan ilmu pengetahuan, meningkatkan pendidikan.
Lihat saja Butet Manurung. Perempuan kelahiran Jakarta, 21 Pebruari 1972 yang juga sarjana lulusan Universitas Padjadjaran, Bandung itu meninggalkan gemerlap kehidupan modern dan memilih tinggal di hutan. Selama bertahun-tahun ia menetap di belantara pedalaman hutan tropis untuk mengajar anak-anak Suku Anak Dalam Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Keikhlasannya berbagi tidak serta merta diterima dengan tangan terbuka. Masyarakat Suku Anak Dalam sempat menyimpan curiga bahkan mengusirnya. Toh, Butet pantang surut, sekalipun nyawanya terancam.
Atas pengabdiannya, ia pun mendapat berbagai penghargaan, antara lain Man and Biosfer oleh LIPI bekerjasama dengan UNESCO (2000), dan di nobatkan sebagai salah satu Asia Heroes oleh Majalah Times (2004). Namun, apa yang diharapkan Butet bukanlah penghargaan, melainkan kepedulian dari pemerintah dan masyarakat luas mengenai keberlangsungan orang Rimba.
Wajah suku Rimba di pedalaman Jambi dan suku-suku terasing lainnya boleh jadi tidak akan berubah seandainya tidak ada seorang Butet yang dengan keikhlasan hati mengabdikan sebagian hidupnya untuk membuat mereka “melek” terhadap peradaban.
Contoh lain adalah Dik Doank. Terjunnya Dik ke dalam aktivitas pendidikan dilatarbelakangi keprihatinannya pada kondisi pendidikan di Indonesia. Dik melihat biaya pendidikan sekarang terlalu tinggi, sehingga terdapat jutaan anak-anak tidak mampu yang terlantar dan tidak dapat bersekolah.
Kegiatan filantropi Dik di awali jauh sebelum namanya dikenal seperti sekarang. Awalnya, ia melakukannya di pinggir jalan. Di rumah warga, di balai warga, atau di rumah orang tuanya. Baru pada 1993 ia membuat sekolah non-formal di kawasan Angkasa Pura, Kemayoran. Pada 1994 ia pindah ke kawasan Jurang Mangu, Sawah Lama, Tangerang-Banten. Dan konsep sekolahnya berubah menjadi Sekolah Alam.
Dik mengharapkan kehadiran sekolah alam ini akan menjadi jembatan antara penduduk yang mampu dan tidak mampu, atau antara yang berpendidikan tinggi dengan yang biasa-biasa saja. Intinya, kehadiran sekolah alam ini sebagai jembatan untuk memberikan pemahaman bahwa kita semua sama walaupun berbeda latar belakang. Di sisi lain, sekolah alam ini menjadi media bertemu dan bersilaturahmi orang-orang yang memiliki latar belakang atau budaya yang berbeda.
Sekolah alam Dik Doank dilahirkan untuk melengkapi hal-hal yang telah diajarkan di sekolah formal. Metode pendidikannya tidak hanya sekedar menghafal, membaca, dan menghitung. Melainkan, anak-anak diajarkan juga untuk mengetahui asal-usul atau sebab akibat sebuah persoalan. Anak-anak dididik pentingnya bersikap santun terhadap orang tua, guru, teman, dan sebainya. Anak-anak juga diajarkan metode kerjasama dan kebersamaan dalam sebuah tim. Tujuannya, memberikan pengertian dan pemahaman bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari orang lain, sehingga harus saling memabantu. Selain itu, anak-anak dididik untuk melihat persoalan dengan jernih. Anak-anak dididik untuk lebih berani berekspresi dan tidak takut melakukan kesalahan. Dari kesalahan itulah kita dapat belajar dan mengetahui hal yang benar.
Filantropi Berkelanjutan
Kegiatan filantropi untuk sebagian kalangan merupakan “kegiatan beli tiket ke surga” atau dengan kata lain, menabung untuk kehidupan di akherat kelak. Namun, harus pula di sadari bahwa kegiatan filantrop harus dilakukan sedemikian rupa sehingga berkelanjutan. Dalam melakukan kegiatan filantropi, seorang filantrop harus berupaya turut mengatasi akar permasalahannya. Karena berupaya turut mengatasi akar permasalahannya, maka kegiatan filantropi yang baik jangan dilakukan seperti memberi uang kepada pengemis atau pengamen agar mereka segera pergi. Kita harus berdialog. Bicara. Jika perlu, berdebat, supaya masing-masing menyadari bahwa filantropi tidak mengembangkan parasitisme, tapi menumbuhkan kemandirian, meningkatkan martabat dan harga diri. Membuat yang dibantu menjadi dewasa, kuat dan merdeka.
Jadi, dalam melakukan kegiatan filantropi, seorang filantrop sedapat mungkin harus membuat pendampingan, pelatihan, dan penyadaran terhadap orang atau pihak yang dibantunya. Jika ada dermawan cinta pada orang miskin, cara yang tepat adalah mendampingi mereka, melatih mereka, dan dengan sabar menyadarkan bahwa sebaiknya kita jangan hidup miskin.
Pentingnya mengetahui akar permasalahan ini, karena kerap kali setiap persoalan tidak berdiri sendiri, tapi tali-temali dengan persoalan lain. Kemiskinan misalnya. Kita tidak boleh berasumsi bahwa orang miskin akan menjadi kaya jika diberi uang. Mereka tidak hanya membutuhkan modal, tetapi juga sangat membutuhkan pendidikan, pelatihan, dan pengetahuan supaya terampil bekerja, mampu mengelola waktu, tenaga dan bakat serta tahu bagaimana melakukan bermacam investasi.
Disarikan dari: Majalah SWA edisi 6 April 2006.
Juni 2008
Comments
Post a Comment